Menepis Stigma Psikolog Pendidikan
Psikolog sekolah seringkali dinilai tidak berbeda dengan guru Bimbingan Konseling (BK). Padahal ilmu yang dipelajari bisa jadi jauh berbeda. Di sekolah sendiri, peran psikolog sekolah lebih menantang karena tidak hanya bertanggung jawab mendiagnosa siswa bermasalah, tapi juga bersuara dalam menunjau kurikulum sekolah. Topik ini menjadi bahasan utama dalam acara Alumni Magister Psikologi Profesi Berbagi yang diadakan oleh Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII), secara daring pada Sabtu, (15/08), dalam rangka memperingati ulang tahunnya yang ke-25.
Secara kelimuan, psikologi bidang pendidikan, tidak hanya mempelajari pendidikan. Yuria Anggela Irianto, M.Psi., Psikolog mengaku mengambil mata kuliah bidang klinis dan bidang industri. Alumni Magister Psikologi UII itu mengungkapkan bawha tidak hanya kemampuan interpersonal, konseling dan psikoterapi yang dibutuhkan seorang lulusan psikolog pendidikan, tapi mempersenjatai diri dengan asesmen yang akurat adalah kunci kesuksesan praktek psikolog pendidikan. “Dibutuhkan variasi alat tes seperti instrumen wawancara dan observasi karena itu akan memperkuat asesmen saat mendiagnosa klien,” tuturnya.
Setelah terjun ke lapangan, orang yang akrab dipanggil Ela itu melihat bahwa remaja ini, tidak sedikit orang tua yang bekerja lembur dan mengandalkan gawai sebagai pengganti “waktu keluarga” kepada anaknya. “Terutama yang Saya lihat banyak di sekolah swasta dimana rata-rata orang tua yang menengah ke atas tidak memiliki waktu bersama anaknya,” tuturnya. Permasalahan seperti ini memengaruhi perkembangan anak. Namun nyatanya, berdasarkan observasi Yuria, dengan teknologi, seringkali siswa meng-googling gejala yang dimiliki dan melakukan self-diagnose. “Yang sempat trending beberapa waktu lalu adalah dimana siswa meng-self-diagnose dirinya sebagai bipolar,” ungkap Yuria. Fenomena seperti ini, menurutnya membutuhkan bimbingan profesional.
Hadirnya psikolog sekolah di sekolah ternyata tidak selalu berjalan mulus, melihat kebanyakan sekolah memiliki guru Bimbingan Konseling (BK) dalam menangani permasalahan siswa. Lantas dimana letak perbedaan peran dan tugas antara psikolog sekolah dengan guru BK? terlebih tidak sedikit masyarakat awam, khususnya orang tua, yang memiliki pandangan bahwa permasalahan yang diselesaikan tidak jauh berbeda, yakni dimana ada siswa yang nakal, akan dipanggil guru BK. Stigma ini yang menurut Yuria agak tidak menguntungkan bagi psikolog sekolah di mata orang tua.
“Kalau guru BK, khusus bertanggung jawab ketika siswa kelas tiga akan menghadapi Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN),” tutur Yuria. Guru BK memberikan rekomendasi perguruan tinggi pada siswa, dan menghitung passing grade dan lain sebagainya. Di sisi lain, selain mendiagnosis siswa bermasalah, menjadi asesor seleksi siswa baru, atau mengadakan parenting session, psikolog sekolah juga bertanggung jawab dalam kurikulum sekolah.
Yuria menjelaskan bahwa saat rapat, psikolog sekolah dapat memberikan masukan dan tinjauan terhadap kurikulum sekolah ataupun memaparkan diagnosis siswa bermasalah. “Yang tadinya guru sangat kesal terhadap siswa tertentu, setelah mendengar diagnosis psikolog sekolah, mereka memilih untuk mengerti kondisi siswa,” ungkapnya. Ini menegaskan bahwa psikolog sekolah memiliki suara yang didengar dan dilihat sebagai profesional.
Menarik pembahasan lain, dalam menangani kasus siswa bermasalah, baik guru BK dan psikolog sekolah ikut andil, hanya saja berbeda secara alurnya. “Saringan pertama melalui wali kelas karena mereka yang paling tahu kondisi siswanya, ketika wali kelas tidak bisa menangani, maka akan dioper ke guru BK. Jika guru BK juga tidak bisa menanganinya, akan dioper ke psikolog sekolah,” jelas Yuria. Disini psikolog sekolah beraksi untuk mendiagnosis siswanya secara mendalam.
Meskipun demikian, Yuria mengaku sempat mengalami sedikit gesekan dengan guru BK selama proses beradaptasi di sekolah. Namun, komunikasi selalu menjadi pilihan pertama bagi Yuria dalam mengahadapi permasalah serupa. “Bangun ikatan. Dengan begitu kita bisa bersinergi,” kata Yuria. Sinergi tidak hanya memperjelas tugas antara guru BK dan psikolog sekolah, tapi juga mengakrabkan manusianya.
Terakhir, Yuria mengungkapkan bahwa tidak hanya gelar yang melekat di akhir nama lulusan magister psikolog, tetapi melekat juga tanggung jawabnya dalam kebahagian mental dan moral orang lain. “Helping others is the way we help ourselves,” pungkasYuria mengutip dari Oprah Winfrey. (IG/RS)