Menepis Kabar Hoax Seputar Vaksin Covid-19
Kabar hoax tentang vaksin covid-19 masih santer beredar di masyarakat. Hal ini mendorong Departemen Kajian Isu Strategis dan Advokasi Lembaga Eksekutif Mahasiswa (Kastrad LEM) FK UII menggelar webinar dengan pembicara dr. Suroso Agus, Sp. KFR, pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada Sabtu (30/1).
Disampaikan dr. Suroso Agus, pengadaan, distribusi, dan pemberian vaksin covid-19 telah diatur secara ketat oleh pemerintah. PT. Bio Farma, ditunjuk menyediakan vaksin melalui kerjasama dengan berbagai institusi internasional. Sementara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengatur jalannya distribusi vaksin dan program vaksinasi nasional.
Ia pun mengajak peserta webinar untuk mendukung program vaksinasi covid-19 ini. “Vaksin yang akan digunakan sudah terbukti efektivitas, keamanan, dan imunogenisitasnya melalui uji klinik sesuai dengan tahapan pengembangan vaksin baru. Untuk mencapai tujuan tersebut pada poin 3 dibutuhkan waktu yang cukup sehingga tidak perlu tergesa gesa sambil terus mengingatkan masyarakat untuk tetap menjalankan protokol kesehatan”, imbuhnya.
Menurutnya, PB IDI telah memberikan rekomendasi kepada Menteri Kesehatan mengenai persiapan yang baik dalam pemilihan jenis vaksin. “Vaksin harus terbukti efektivitasnya, imunogenisitasnya serta keamanannya lewat hasil uji klinik. Vaksin juga harus mengantongi izin edar EUA (Emergency Use Authorization) dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Hal-hal seperti persiapan pedoman, pelatihan petugas, sosialisasi, penanganan KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) juga tidak boleh luput dari perhatian”, jelasnya.
Sesuai dengan rekomendasi PB IDI, vaksin yang masuk ke Indonesia harus melewati uji klinik pada populasi Indonesia sebelum disuntikkan dan mendapat persetujuan BPOM. “Kemenkes membuat kriteria syarat indikasi penerima vaksin, sedangkan PB IDI membuat panduan pedoman pemberian vaksin COVID-19”, sambungnya.
Kepada para dokter yang bertugas di garda depan ia berpesan agar mereka menjadi agen perbaikan dan referensi informasi kesehatan terpercaya. “Masyarakat awam rentan menjadi objek informasi yang keliru. Kejujuran, keadilan, dan kebijaksanaan merupakan nilai utama profesi kedokteran. Vaksinasi sebagai upaya penanggulangan wabah telah didukung bukti ilmiah sehingga dokter dan organisasi profesi kedokteran perlu mendukung program ini”, tegasnya.
Selanjutnya, ia mengingatkan agar para dokter tidak terlibat dalam kampanye anti vaksin termasuk melalui media sosial. “Kampanye anti vaksin tidak sesuai dengan kaidah keilmuan dan profesi kedokteran serta kesehatan masyarakat. Kritis ilmiah terhadap program vaksinasi hendaknya disampaikan dalam forum ilmiah kedokteran”, pesannya. Dokter yang terbukti melakukan pemelintiran informasi dan menyebarkan kebohongan (hoax) termasuk melakukan pelanggaran etik sedang. (UAH/ESP)