Menelaah Fikih Ibadah di Masa Pandemi
Pandemi Covid-19 telah merubah sebagian besar tatanan kehidupan manusia, tak terkecuali dalam melaksanakan ibadah bagi umat muslim. Beribadah di masa wabah tentulah harus mengedepankan hati nurani dan rasionalitas untuk menjadikan keselamatan jiwa (hifd al–nafs) di atas segala-galanya. Sebab selain menjaga agama, Islam adalah agama yang sangat memperhatikan keselamatan jiwa.
Merespon hal tersebut, Jurusan Studi Islam Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (FIAI UII) menggelar webinar pengabdian nasional bertema Fiqh Ibadah di Masa Pandemi Covid-19 pada Selasa (11/8). Webinar ini menghadirkan narasumber Dosen Program Studi Ahwal Syakhshiyah UII, antara lain Fuat Hasanudin, Lc., M.A., Ahmad Nurozi, S.H.I., M.S.I., Dr. Anisah Budiwati, S.H.I., M.S.I., dan M. Miqdam Makfi, Lc., MIRKH.
Mengawali materinya Ahmad Nurozi menyampaikan metode pengumpulan dan penyaluran zakat di masa pandemi telah diatur sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam isinya menghimbau pembayaran zakat dipercepat dan dibayarkan di awal Ramadhan pada saat itu, dengan tujuan agar terdistribusi kepada mustahik lebih cepat. Bagi organisasi pengelola zakat untuk sebisa mungkin meminimalkan pengumpulan zakat melalui kontak fisik, tatap muka secara langsung dan membuka gerai di tempat keramaian. Hal tersebut diganti menjadi sosialisasi pembayaran zakat dan transfer layanan perbankan.
“Tukar kupon yang dilakukan mustahik perlu dihindari bagi unit pengumpul zakat, selain itu hindarilah mengadakan pengumpulan orang banyak pada suatu tempat dengan memberikan secara langsung zakat kepada mustahik. Penyaluran zakat dilengkapi dengan alat pelindung kesehatan seperti masker, sarung tangan dan alat pembersih,” ucapnya.
Selanjutnya, Fuat Hasanudin menjelaskan pengurusan jenazah di masa pandemi tercantum dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 18 Tahun 2020. Pengurusan jenazah (tajhizal-jana’iz) yang terpapar Covid-19, terutama dalam memandikan dan mengafani harus dilakukan sesuai protokol medis dan dilakukan oleh pihak yang berwenang, dengan tetap memperhatikan ketentuan syariat. Sedangkan untuk menshalatkan dan menguburkannya dilakukan sebagaimana biasa dengan tetap menjaga agar tidak terpapar Covid-19.
Materi fikih munakahat di masa pandemi yang dipaparkan oleh Anisah Budiwati yaitu tentang tujuan menikah sebagaimana yang termaktub dalam Alqur’an Surat Ar Ruum ayat 21 yaitu mawaddah wa rohmah: “supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya”. Pentingnya memperhatikan persiapan menuju pelaminan seperti meluruskan niat, persetujuan kedua mempelai , pemberian mahar, dan menyelenggerakan walimah. Adanya kekhawatiran penyebaran virus di masa pandemi dalam menyelenggarakan walimah, perlu memperhatikan keamanan protokol kesehatan dengan mengindahkan segala aturan yang ada. Serta pentingnya menambah wawasan pengetahuan yang harus dipahami oleh masyarakat.
“Perlu diperhatikan lagi mengenai Surat Edaran Menteri Agama No. 15 Tahun 2020 tentang penerapan fungsi sosial rumah ibadah meliputi kegiatan pertemuan masyarakat di rumah ibadah yaitu akad pernikahan dengan memastikan semua peserta hadir dalam kondisi sehat dan negatif Covid-19, dan pembatasan jumlah peserta yang hadir maksimal 20 persen dari kapasitas ruang dan tidak boleh lebih dari 30 orang serta pertemuan dilaksanakan dengan waktu seefisien mungkin,” jelasnya.
Disampaikan Miqdam Makfi, tentang Fikih Idul Adha di Masa Pandemi menurut Fatwa MUI No.36 tahun 2020 pelaksanaan penyembelihan hewan kurban harus tetap menjaga protokol kesehatan untuk mencegah/meminimalisir terjadi penularan. Dalam melaksanakan sholat Idul Adha semakin banyak tempat yang mengadakan sholat Idul Adha semakin baik, karena jamaahnya semakin terlokalisir dan terbatas.
Sebagaimana jumlah minimal tidak dibatasi MUI dalam Fatwanya No.28 tahun 2020, bahwa sholat Ied dilakukan dengan jumlah minimal 4 orang (termasuk imam). Aturan ini berlaku untuk kepentingan khutbah. Artinya, jika kurang dari 4 orang pun sholat tetap dapat dilaksanakan tanpa khutbah. Begitu juga jumlahnya 4 atau lebih tapi tidak ada yang mampu khutbah, maka cukup sholat tanpa khutbah sebagaimana sholat munfarid.
“Ketaatan kita kepada pemerintah di masa pandemi ini menjadi kewajiban bagi kita sebagai umat Islam, karena semata-mata apa yang digariskan oleh pemerintah protokol kesehatan itu merupakan manifestasi dari sebuah kaidah yang sering didengar dikalangan ushulum fiqh, bahwa daru’u al-mafasid muqoddamun ala jalbil al-mashalih (mencegah kerusakan lebih didahulukan ketimbang mengupayakan kemaslahatan),” tuturnya. (HA/RS)