Mendeteksi Kecenderungan Berbohong Pasangan
Isu kesetiaan dalam membina hubungan rumah tangga kerap menjadi perbincangan menarik. Salah satu tanda kesetiaan dapat diukur dari perilaku kejujuran pasangan. Meskipun usia pernikahan sudah berjalan cukup panjang, nyatanya fenomena ini dapat saja terjadi. Sikap kecenderungan untuk terus berbohong yang terjadi hingga kemudian terungkap menjadi problem dalam mempertahankan hubungan. Tindakan semacam ini sangat erat dengan kebiasaan seseorang yang dapat ditinjau dari kacamata psikologi.
Menurut Dr. Phil. Qurotul Uyun, S.Psi., M.Si., Psikolog, banyak sebab yang menjadi motif seseorang melakukan kebohongan. Di antaranya yakni tidak mau bertanggung jawab hingga hendak menyembunyikan kesalahan. “Atau berbuat sesuatu apa yang mungkin memalukan, dia tau bahwa kalau pasangannya tau nanti kecewa. Biasanya itu. Takut mengecewakan, takut dimarahi. Dia ingin tampak baik,” tuturnya.
Menurutnya, faktor internal berbohong dapat ditelisik dari kepribadian yang narsistik dan histrionik. “Kalau ingin dikagumi orang kan dia ingin menunjukkan (yang) sempurna. Jadi nanti dia akan melebih-lebihkan. Kalau histrionik itu dramatis. Dia suka dramanya. Kenapa dia berselingkuh itu dia tidak terlalu merasa bersalah karena ini drama,” ujar Dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) tersebut.
Walaupun kasusnya sangat bervariatif dan tergantung pada karakter tiap pasangan, apabila dilakukan secara berulang, sikap demikian pun tumbuh menjadi kebiasaan. Termasuk pula kecenderungan untuk ingin selalu dilihat baik, yang dapat diibaratkan sebagai penyakit. “Kebohongan yang satu akan menyebabkan kebohongan yang lain,” ucapnya.
Selain itu, ada paling tidak tiga faktor yang mempengaruhi munculnya sikap berbohong, yakni kepribadian, pola asuh saat kecil, serta lingkungan. “Lingkungan itu sebetulnya faktor yang menurut saya minim mempengaruhi orang. Kalau sampai dia terpengaruhi lingkungan itu, kalau dasarnya memang baik, itu pasti sementara … akan mudah untuk kembali,” katanya.
Bahaya Sikap Manipulatif
Sikap manipulatif sendiri diibaratkan seperti penyakit hati yang sejatinya masih bisa diobati. Dalam Islam, Rasulullah saw. sendiri sudah diwaspadai soal penyakit hati yang dimaksud, yakni suka dipuji dan takut dicela. “Tidak hanya suka dipuji dan takut dicela, ekstremnya dia (bisa) mencari pujian. Kan berat ini, ya,” sebutnya.
Sejumlah kasus yang terjadi dalam hubungan suami-istri seringkali diselesaikan dengan instrumen berupa perjanjian yang disaksikan pihak ketiga. Meskipun demikian, upaya penyelesaian konflik keluarga mestinya pula melibatkan prinsip bertobat kepada Allah Swt.
“Kalau namanya penyakit hati, kalau sudah menggerogoti itu seperti penyakit fisik, ya. Ibarat sedikit, diobati mudah. Tapi kalau sudah banyak, mengobatinya harus sungguh-sungguh. Kalau saya sekarang meyakininya kalau tidak mau bertobat, susah. Jadi nggak bisa (hanya) dengan surat perjanjian gitu,” pesannya.
Dr. Uyun sendiri menyampaikan bahwa tanda-tanda manipulatif pada pasangan memang dapat ditemukan, namun membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Hal demikian dikarenakan sifat dari kepribadian yang tidak dapat langsung dideteksi. “Kepribadian itu tidak menyadari bahwa dirinya itu salah … karena orang lain yang terkena dampaknya dia. Kalau dia ya merasa baik-baik saja,” ucapnya.
Upaya Memperbaiki Karakter
Keterulangan perilaku tersebut akhirnya bermuara pada pembentukan karakter yang buruk. Mengubah kebiasaan tersebut tentunya dapat dilakukan, namun membutuhkan tekad yang kuat serta konsisten. “Kalau memang itu karakter, berarti dia harus melalui pertobatan yang luar biasa. Menurut saya ya orang bertobat itu bisa mengubah karakter orang, tapi ya memang istilahnya mujahadahnya harus kuat banget,” ungkapnya.
Selain itu, mengenai penanganan, salah satu langkahnya dapat dimulai dengan proses menemukan pihak ketiga, termasuk konseling dengan psikolog yang menghadirkan kedua belah pihak sehingga dapat didiagnosis oleh psikolog. “Per individu beda-beda, jadi kita enggak bisa langsung judgement ini pasti sembuh. Tidak. Perlu dideteksi. Kalau dia datang ke psikolog bisa dideteksi,” pungkasnya. (JRM/ESP)