Menata Ulang Ruang Publik Yang Tahan Pandemi
Pandemi Covid-19 memicu adanya krisis yang berdampak pada kehidupan sosial. Disrupsi besar ini memberikan sudut pandang baru bagi arsitek dalam melakukan pengelolaan kota. Kebijakan mengenai menjaga jarak fisik dan menghindari keramaian menjadi pemantik untuk mendesain kota yang berketahanan dan lebih sehat guna mengantisipasi adanya wabah serupa terulang kembali.
Lantas bagaimana merancang kembali ruang publik agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat untuk berkumpul secara sosial namun tetap memperhatikan jarak fisik antar pribadi. Menanggapi hal tersebut, Program studi Arsitektur Universitas Islam Indonesia mengadakan webinar pada Kamis (28/5) melalui Zoom yang diisi oleh dua pembicara yakni Prof. Nicole Uhrig dari Anhait University of Applied Science dan Dr. -Ing Ilya Fadjar Maharika, MA dari Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) UII.
Nicole Uhrig mengatakan bahwa wabah virus corona sangat berefek pada perekonomian setiap negara. Jarak sosial membuat banyak orang harus menutup usahanya dan tetap di rumah saja. Namun, tidak dipungkiri meskipun sudah dihimbau pemerintah untuk membatasi aktivitas di luar rumah, masih ada saja yang melanggarnya. Untuk itu sebagai seorang arsitek perlu merancang agar negara, kota, maupun desa tetap mendukung aktivitas warga tanpa ada rasa khawatir.
Pengelolaan ruang publik bukan hanya soal menyehatkan masyarakatnya, melainkan juga mempersiapkannya menghadapi wabah dengan dampak seminimal mungkin. Banyaknya orang yang terinfeksi virus corona harus juga dibarengi dengan persediaan tempat karantina atau isolasi warga yang terjangkit. “Tahun ini dapat menjadi referensi agar kita dapat mempersiapkan tempat lebih dalam menghadapi wabah serupa di masa depan,” ucapnya.
Ia menambahkan perlunya beberapa opsi selain tempat karantina; seperti tempat ibadah, restoran atau tempat makan lainnya, pasar, ruang belajar, tempat rekreasi, mall, dan sebagainya. Ia juga menekankan perlunya wahana bermain yang aman bagi anak kecil. Sebab anak-anak memerlukan agar wahana untuk melatih perkembangan fisik, kognitif, sosial dan emosionalnya. “Penting sekali dibuat rancangan agar ruang publik siap menghadapi segala situasi seperti wabah ini,” tambahnya.
Struktur tatanan kota kedepannya perlu disiapkan dengan membuat beberapa aturan di setiap tempat. Misal di tempat ibadah harus diberi tanda jarak fisik antar pribadi dengan tanda yang berbentuk lingkaran, kotak, silang, maupun yang lainnya. Tempat makan, perlu dibuat rumah-rumahan mini yang terdapat kursi dan meja yang hanya dapat diisi oleh dua orang saja berhadap-hadapan. Ruang pembelajaran diatur dengan dibuatnya jarak antar meja dan kursi.
Trotoar atau tempat pejalan kaki perlu diberi tanda pembatas di tengah jalannya sehingga setiap orang dapat berjalan sesuai dengan jalurnya. “Trotoar pop-up ini memberikan ruang tambahan bagi pejalan kaki untuk mencapai jarak sosial di area pusat kota yang ramai,” jelasnya.
Memanfaatkan Celah Teknologi
Solusi lain yang memungkinkan adalah dengan mendirikan kota pintar yang banyak memanfaatkan teknologi. Krisis corona memicu dorongan untuk meningkatkan ekspansi infrastruktur, platform online baru, aplikasi mobile untuk mencegah dan melacak rantai infeksi, serta model kerja digital yang lebih fokus dan lebih baik dari sebelumnya.
Upaya perencanaan struktur kota di atas sudah tentu membutuhkan lahan yang luas. Nicole Uhrig mengatakan bahwa kota-kota menurunkan rintangan birokrasi dan pembatasan jarak fisik yang tersebar di ruang publik memakan lebih banyak area. Maka untuk mempersiapkannya sangat diperlukan kerjasama yang baik, waktu, tenaga, dan dana yang cukup besar.
Di penutup sesinya, ia memberikan empat kesimpulan. Pertama, orang-orang perlu merebut kembali ruang terbuka: cukup informasi, memadai, bertanggung jawab, dan tanpa rasa takut. Kedua, bagaimana mengubah perilaku orang untuk bertindak secara bertanggung jawab?. Ketiga, meningkatkan ketahanan dengan memungkinkan solusi yang lebih fleksibel, mudah, cepat, dan ekonomis di saat krisis. Terakhir, jangan mengorbankan tujuan yang lebih tinggi dari perencana terjebak dalam instalasi dan pembatasan sementara yang diinstal dengan cepat.
Senada, Ilya Fadjar Maharika juga mengatakan bahwa semua ukuran-ukuran dalam mengatasi pandemi seperti social distancing maupun contact tracing membutuhkan ruang yang lebih luas dan boros. Ia menawarkan solusi dengan memanfaatkan taman atau fasilitas olahraga di masa krisis sekarang dapat dimanfaatkan sebagai tempat penanganan darurat. Terlebih belum diketahui kapan wabah corona akan menghilang, dan apakah kelak akan muncul virus baru yang sama bahayanya.
Seorang arsitek juga membutuhkan pihak lain dalam mempersiapkan kemungkinan adanya wabah baru. Kapasitas tenaga kesehatan, institusi, dan masyarakat juga sangat krusial. Arsitek di masa krisis harus aktif dalam mendukung pemerintah dengan memberikan masukan terhadap pembatasan sosial berskala besar. “Bersama-sama mempersiapkan perencanaan kota yang dibutuhkan dalam memastikan penanganan pandemi agar berjalan efisien dan efektif,” tutupnya.(SF/ESP)