Menata Lingkungan Dengan Internet Untuk Segala
Tantangan menghadapi pembangunan yang terus berkembang pesat perlu mendapatkan perhatian khusus. Peningkatan kebutuhan akan fasilitas bangunan berdampak pada meningkatnya kebutuhan lahan. Di sisi lain, lingkungan yang terbangun juga harus memenuhi kaidah aspek-aspek sosial, ekonomi dan keberlangsungan di abad ke-21. Untuk memaksimalkan sumberdaya yang ada diperlukan teknologi internet untuk segala.
Hal ini yang turut mendorong Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) UII menyelenggarakan konferensi nasional Inovasi Lingkungan Terbangun (ILT) ke-5 pada 2019. Sebelumnya konferensi ini bernama Innovation on Built Environment (IBE) yang dimulai pada tahun 2009. Kegiatan yang berlangsung di Gedung Moh Natsir FTSP pada Sabtu (12/10) menghadirkan pembicara utama yang meliputi Dr. Asrul Mahjuddin Ressang bin Aminuddin (Universitas Malaya, Malaysia), Prof. Andrew Charleson (Victoria University Wellington), Prof. Ir. Mochamad Teguh, MSCE. Ph.D (Universitas Islam Indonesia) dan Arindita Desi Permatasari, ST, MSc (Kepala Seksi Perencanaan Persampahan dan Drainase Lingkungan Direktorat PPLP).
FTSP UII ingin berkontribusi pada dunia infrastruktur dan teknologi melalui penyelenggaraan konferensi bertema “Tantangan dan Strategi Perwujudan Lingkungan Terbangun yang Cerdas, Lestari, dan Tangguh di Era Industri 4.0.” Upaya ini menjadi langkah awal dalam menjaga komitmen untuk menciptakan harmonisasi antara aspek sosial, ekonomi dan lingkungan dengan penerapan teknologi informasi berbasis solusi Internet of Things (IoT). Melalui langkah pengoptimalisasi konsep Internet of Things (IoT) diharapkan dapat mendukung langkah pemerintah dalam mewujudkan revolusi industri 4.0 dalam hal pengelolaan lingkungan terbangun.
Asrul sebagai pembicara pertama menuturkan diperlukannya green building index untuk berbagai manfaat. Di antaranya, menetapkan standar pengukuran, integrasi desain lingkungan yang lebih baik, menghargai kepemimpinan lingkungan, mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, dan meningkatkan kualitas lingkungan.
Sementara pembicara lain, Andrew lebih menekankan persoalan kota yang berkelanjutan dan permukiman manusia. Ia berfokus pada ketahanan bangunan terhadap gempa mengingat Indonesia sangat rentan dengan gempa. “Berbeda dengan keadaan yang sesungguhnya, sebagian besar bangunan memiliki kecacatan serius yang berimplikasi pada kerentanan runtuhnya bangunan. Ini pentingnya edukasi bagi semua kalangan”, tuturnya.
Sedangkan pembicara Desi menekankan pada infrastruktur sanitasi. Ia menuturkan banyak kerugian yang ditimbulkan dengan mengabaikan sanitasi, yakni dari aspek kesehatan maupun ekonomi. “Permasalahan sanitasi timbul akibat kurangnya kesadaran masyarakat untuk hidup bersih. Perkembangan gaya hidup masyarakat yang berpotensi menyebabkan peningkatan sampah akan turut menurunkan kualitas sanitasi”, ujarnya.
Menyambung diskusi mengenai infrastruktur sebelumnya, Mochamad Teguh berbicara mengenai praktek konstruksi tahan gempa di Indonesia. Ia menyampaikan banyak hal yang terjadi di Indonesia yang berkaitan dengan kurangnya ketahanan infrastruktur terhadap bencana gempa. ”Selama ini proses pembangunan rumah oleh masyarakat dilakukan berdasarkan pengalaman mereka, dan tidak ada edukasi mengenai rumah tahan gempa,” tutur Teguh.
Konferensi yang dihadiri oleh 80 orang pemateri, peserta dan tamu undangan ini juga diwarnai dengan agenda tambahan yakni presentasi 56 makalah penelitian dari berbagai kalangan termasuk dosen, mahasiswa S1 dan S2. Topik yang diangkat dalam sesi presentasi meliputi : Perumahan dan Infrastruktur Hijau, Sistem dan Teknologi pendukung infrastruktur permukiman yang berkelanjutan, Pengurangan risiko bencana pada pengelolaan lingkungan terbangun, dan Sanitasi lingkungan permukiman yang berkelanjutan. (NR/ESP)