Menakar Perangai Ilmiah Kita
Atas nama Konsorsium Epistemologi Islam, Universitas Islam Indonesia (UII), dan juga Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKSPTIS), saya mengucap syukur atas terbitnya buku “Integrasi Ilmu dan Islam” karya Prof. Dr. Ir. H. A. M. Saefuddin dan Drs. Yuddy Ardhi.
Bagi saya, penulisan buku dan publikasi ilmiah lain sebagai pengikat ilmu merupakan ikhtiar menjadikan ilmu menjadi lebih berusia panjang dan membuka pintu kebermanfaatan semakin lebar. Penulisan pemikiran juga memantik diskusi lanjutan yang sangat penting untuk membuat iklim ilmiah yang sehat.
Saya berterima kasih untuk kerja sama antara Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) bekerjasama dengan Universitas Islam Indonesia (UII), Asosiasi Masjid Kampus Indonesia (AMKI), Konsorsium Epistemologi Islam, dan Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKS PTIS) dalam acara ini.
Kelahiran setiap buku dan publikasi yang ditulis dengan serius layak untuk dirayakan, sebagai wujud apresiasi kepada pengembangan ilmu/sains dan ilmuwan/saintis. Kebiasaan ini dapat menjadi salah satu indikasi perangai ilmiah (scientific temper) yang harus semakin digalakkan.
Sejarah mencatat bahwa perangai ilmiah yang diindikasikan dengan perasaan gandrung terhadap sains, menjadi salah satu pendorong pengembangan sains di dunia Islam sampai mencapai masa kejayaannya. Ketika itu, sains dan saintis sangat dihargai.
Perangai Ilmiah
Saya ingin memulai dengan ilustrasi sederhana untuk melihat bagaimana umat Islam berpikir ilmiah dalam melihat sebuah kejadian.
Ketika ada gugusan awan yang menyerupai tulisan Allah atau Muhammad, apa yang dilakukan oleh umat Islam? Sebagian besar akan mengucap masyaallah, tanda takjub dan bentuk zikir kepada Sang Pencipta. Respons tersebut sama sekali tidak salah dan bahkan dianjurkan.
Namun, apakah kita pernah mendengar diskusi lanjutan, yang membahas bagaimana menjelaskan fenomena tersebut secara ilmiah, terkait dengan pembentukan awan yang mempunyai beragam formasi atau sejenisnya?
Jika kita sepakat pada konsep ulul albab menjadi landasan epistemologi, respons dengan “masyaallah” baru mengandung satu aspek: berzikir. Kita belum masuk secara serius ke aspek keduanya: berpikir.
Karenanya, muslim dengan perangai ilmiah, sebagai penerjemahan aspek berpikir ulul albab, akan menggunakan pendekatan ilmiah dalam melihat banyak hal dan dalam mengambil beragam keputusan.
Mengapa ini penting?
Kepercayaan publik dunia terhadap sains dan saintis tidak terlalu menggembirakan. Survei Wellcome Global Monitor pada 2018, misalnya, menemukan bahwa hanya 32% responden yang mempunyai kepercayaan tinggi terhadap sains secara umum dan hanya 34% responden yang mempunyai kepercayaan tinggi terhadap saintis.
Pandemi Covid-19 telah meningkatkan kepercayaan publik terhadap sains dan saintis. Survei serupa pada 2020 yang melibatkan 119.000 responden di 113 negara/wilayah, menemukan sebanyak 43% publik mempunyai kepercayaan terhadap saintis, mirip dengan proporsi publik (45%) yang percaya kepada dokter (Wellcome, 2020).
Kepercayaan kita terhadap sains dan saintis merupakan salah satu indikasi perangai ilmiah kita.
Pengembang sains
Temuan riset yang dilakukan oleh Eric Chaney (2016), profesor dari Universitas Harvard, tentang perkembangan peradaban Islam menarik untuk dilihat. Dia ingin mencari bukti empiris lampau bagaimana muslim memberikan perhatian kepada pengembangan sains. Dia kumpulkan data dari Perpustakaan Universitas Harvard yang mempunyai lebih dari 13 juta koleksi, termasuk yang berasal dari abad ke-9, ketika peradaban Islam dipercaya berkembang sangat pesat.
Dia kumpulkan buku yang ditulis antara tahun 800 sampai 1500, diterbitkan di “wilayah Islam” saat itu, dan ditulis oleh penulis bernama Arab. Tentu meski bernama Arab, tidak selalu beragama Islam.
Buku dikelompokkan menjadi dua: buku agama yang ditulis oleh penulis dari madrasah, dan buku sains yang ditulis oleh mereka dari lembaga riset. Selain tahun terbit, kota tempat terbit buku juga dipetakan.
Temuan penting pertama mengamplifikasi pengetahuan kita selama ini, bahwa ada beberapa kota yang menjadi episentrum peradaban Islam saat ini. Kota tersebut adalah Bagdad, Aleksandria, dan Cordoba. Di ketika kota tersebut, banyak buku diterbitkan.
Temuan menarik lainnya adalah, bahwa sebelum abad ke-11, cacah buku sains yang diterbitkan jauh lebih baik dibanding buku agama. Namun, mulai abad ke-11, sebaliknya, cacah buku tentang agama naik tajam dan cacah buku sains turun drastis.
Sejarah mencatat bahwa kemunduran peradaban Islam dimulai pada abad ke-11 tersebut. Koinsidensi ini membimbingan pada sebuah kesimpulan terkait dengan peran pengembangan sains dalam sebuah peradaban.
Pertanyaan penutup
Jika berzikir merupakan salah satu sayap peradaban Islam, maka pengembangan sains yang didorong oleh perangai ilmiah, epistem berpikir, adalah sayap keduanya. Ibarat seekor burung, peradaban Islam tidak akan bisa terbang tinggi tanda dua sayap yang sempurna: sayap zikir dan sayap pikir.
Jika ini disepakati, maka saya ingin menutup tulisan singkat ini dengan sebuah pertanyaan untuk kita semua: dengan dilandasi niat baik dan dilandasi semangat integrasi ilmu dan Islam, apakah mungkin bahwa berbondong-bodong ke perpustakaan, berlama-lama di laboratorium, atau bersemangat mengumpulkan data lapangan sebagai contoh aktivitas berpikir, kita pandang sama mulia dan sama islami, dengan menghadiri majelis taklim di masjid sebagai amsal aktivitas berzikir?
Referensi
Chaney, E. (2016). Religion and the rise and fall of Islamic science. Working Paper, Department of Economics, Harvard University, Cambridge, MA.
Wellcome (2020). Wellcome global monitor: How Covid-19 affected people’s lives and their views about science. Tersedia daring: https://cms.wellcome.org/sites/default/files/2021-11/Wellcome-Global-Monitor-Covid.pdf
Elaborasi sederhana dari sambutan pada pembukaan acara bedah buku “Integrasi Ilmu dan Islam” karya Prof. Dr. Ir. H. A. M. Saefuddin dan Drs. Yuddy Ardhi, kerja sama antara Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Asosiasi Masjid Kampus Indonesia (AMKI), Universitas Islam Indonesia (UII), Konsorsium Epistemologi Islam, dan Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKSPTIS).