Menafsirkan Kembali Sistem Khilafah Islam
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) UII menyelenggarakan diskusi bertema “Fondasi Dan Ekspansi Imperium Ottoman” pada Kamis (13/2) di Gedung Prof. Dr. Ace Partadiredja UII. Diskusi ini menghadirkan narasumber Prof. Dudung Abdurrahman, M.Hum dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Suwarsono Muhammad, MA selaku Ketua Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia.
Disampaikan Heri Sudarsono S.E., M.Ec selaku ketua penyelenggara, diskusi ini merupakan program awal di tahun 2020 di antara program lain seperti Conference in Islamic Economic, Management and Finance yang juga menjadi program di awal tahun 2020. Menurutnya belajar sejarah sangat menarik karena di dalam jurusan ekonomi sendiri tidak dijumpai pelajaran sejarah ekonomi dan sosial Islam.
Sementara, Prof. Dudung Abdurrahman menyampaikan Dinasti Turki Usmani atau imperium ottoman berhasil membangun kesultanan terbesar dalam sejarah Islam. Wilayahnya membentang menjadi tiga garis besar yakni negara-negara Balkan seperti Yugoslavia, Albania, Yunani, Bulgaria, Serbia, dan sebagian besar Rumania; Anatolia (Turki); dan Arab yang meliputi Suriah, Lebanon, Yordania, Palestina, Iraq, Kuwait, Mesir, Libya, Tunisia, Aljazair, dan sebagian Semenanjung Arabia.
“Mayoritas penduduknya adalah Muslim dengan kelompok minoritas terbesar adalah Kristen yang mendominasi wilayah Balkan serta warga Yahudi yang terserak di berbagai wilayah di Timur Tengah dan Afrika Utara. Terjadi juga migrasi ulama dari Mekah dan Madinah ke Istanbul”, ujarnya.
Realitas multikultural yang ada di dinasti ini didasarkan pada kultur yang cosmopolitan ditambah dengan kultur bangsa eropa. Prosa dan syair-syair banyak dikembangkan dalam berbagai bahasa termasuk dalam bahasa Persia. Maulana Jalaludin Rumi, seorang sastrawan dan sufi yang terkenal dari dinasti Ottoman banyak melahirkan puisi dan syair islami.
Sedangkan Ketua Yayasan Badan Wakaf UII, Suwarsono Muhammad menggarisbawahi sintesa antara Tesis Ghazi dan Pragmatisme. Tesis Ghazi berasal dari bahasa Turki Ottoman : غزا , ġazā , “perang suci,” atau sekadar “penyerbuan”) yang dirumuskan oleh Paul Wittek untuk menginterpretasikan sifat dari Ottoman.
“Menurut tesis Ghazi, Utsmani menyelesaikan ini dengan menarik calon untuk berperang demi mereka atas nama perang suci Islam melawan orang-orang yang tidak beriman. Pejuang seperti itu dikenal di Turki sebagai ghazi sehingga Ottoman awal disebut sebagai “Negara Ghazi,” yang didefinisikan oleh ideologi perang suci. Tesis ini mendominasi historiografi Utsmani sebelum mendapat kritik yang lebih dikenal dengan mazhab pragmatisme”, terangnya.
Selanjutnya, ia juga berpendapat bahwa saat ini lebih relevan menafsirkan kekhalifahan layaknya seperti OKI atau PBB yang saling bekerja sama satu sama lain untuk membentuk sebuah kesejahteraan dan perdamaian. Sebagaimana negara-negara di Eropa juga membangun sistem pemerintahan bersama seperti Uni Eropa. Menurutnya hal itu lebih relevan karena pemerintahan absolut seperti dinasti justru akan dilanda kemelut konflik yang brutal.
Ia pun berpesan agar umat Islam terus meningkatkan kejayaannya lewat kekayaan ilmu pengetahuan. “Kaya dan ideologis, bukan ideologis saja tapi miskin yang hanya bisa marah-marah dan tidak bertindak. Kerjasama juga penting dilakukan dengan bergantung untuk maju bukan sendiri-sendiri”, pungkasnya. (HN/ESP)