Memupuk Integritas dan Karakter Sebagai Etika Berpolitik
Rakyat memiliki hak dalam memilih wakil-wakilnya untuk duduk di badan-badan perwakilan rakyat. Proses tersebut tergambar lewat pemilu. Bagi calon wakil rakyat yang duduk di parlemen, integritas merupakan nilai penting yang menjadi tolak ukur kepercayaan rakyat. Di samping itu, dibutuhkan juga karakter sebagai kunci utama menjadi seorang pemimpin sukses. Kedua hal itu merupakan kunci ketika memasuki dunia politik dan kepemimpinan.
Hal tersebut dikemukakan alumni Fakultas Hukum UII yang menjabat sebagai anggota DPR RI Dr. Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, S.H., LL.M. Ia menyampaikannya ketika menjadi pembicara Webinar Nasional : Drama Panggung Politik Indonesia yang dihelat oleh Lembaga Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (LEM UII) belum lama ini secara daring. Kegiatan ini merupakan rangkaian POLA UII 2020 (Politik dan Advokasi). Turut hadir Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pertahanan, Prof. Dr. Salim Haji Said, MA., MAIA. Jalannya diskusi dipandu oleh alumni FH UII yang saat ini sebagai News Anchor & Producer Net, Tomy Ristanto.
Muhammad Rifqinizamy melanjutkan, politik selalu bersifat dinamis. Setiap ideologi itu mencari celah dan jalannya masing-masing. Ia juga memiliki strategi masing-masing untuk mewujudkan pandangan politik dan ideologinya. Menurutnya, bersekutu dengan rakyat merupakan strategi paling ampuh untuk seseorang masuk ke dalam dunia politik.
“Kita harus tahu selera masyarakat yang akan mendukung kita itu apa?, kalau kebutuhan masyarakat kita di bidang keagamaan, anda pastikan keberadaan anda sebagai politisi itu bisa memperkuat basis masyarakat anda di bidang keagamaan. Tapi sebagai anggota DPR RI saya bisa membawa rencana pembangunan melalui APBN, saya hajatkan itu dan masyarakat di daerah saya senang,” ucapnya.
Menurut pengalamannya selama menjadi anggota legislatif, masyarakat membutuhkan pemimpin yang memiliki integritas tinggi. Dari sanalah kepercayaan akan dibangun dan karakter seorang pemimpin lah yang menentukan kesuksesan atau kegagalan kepemimpinannya.
Pembicara lainnya, Prof. Dr. Salim Haji Said, mengemukakan bahwa para ahli ilmu politik menyebut sistem politik negara Indonesia ini adalah oligarki dan berbeda dengan sistem politik orde baru, yaitu diktator. Konsekuensi dari adanya perwujudan demokrasi adalah kebebasan warga negara menyatakan pendapat di muka umum. Berbeda dengan bentuk pemerintahan negara otoriter bercirikan adanya penekanan kekuasaan.
“Kalau anda mau demokrasi, konsekuensinya ramai riuh, karena orang bebas menyatakan pendapat. Kalau anda mau tenang cari pemerintahan yang otoriter, yang mengatur semuanya,” imbuhnya.
Prof. Salim menambahkan, Istilah oligarki di Indonesia saat ini disamakan dengan kekuatan bermacam-macam. Hal ini berbeda apabila dibandingkan dengan kepemimpinan mantan presiden republik Indonesia kedua, Presiden Soeharto yang otoriter. Kekuasaan seperti inilah yang sering kali diperbincangkan, termasuk isu oligarki politik maupun ekonomi serta munculnya kebijakan-kebijakan politik dan publik yang dihasilkan oleh institusi-institusi resmi negara.
Di sisi lain, Prof. Salim mengucapkan politik di mata masyarakat saat ini dapat dilihat dari pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang masih mengandung banyak polemik dengan penolakannya yang masif. Ia mengungkapkan bahwa pemerintah berhasil memobilisasi partai-partai untuk mendukung rencana dalam mewujudkan Undang-Undang Cipta Kerja, fakta ini menjadikan kepercayaan masyarakat terhadap partai-partai merosot. Terlebih lagi beredar suara ketidakpercayaan terhadap Mahkamah Konstitusi, seperti kurangnya kepercayaan terhadap KPK setelah diubah-ubah disesuaikan Undang-Undang yang mengatur KPK.
“Ini masalah yang dihadapi pemerintah dan partai-partai pendukung pemerintah, apa itu?, kalau dilihat oleh masyarakat bahwa beban kepada masyarakat, itu didukung oleh rekayasa yang dilakukan pemerintah dalam mengatur negara. Itu persoalan yang saat ini kita hadapi,” tutupnya. (HA/ESP)