Mempertahankan Esensi Internasionalisasi
Keterbatasan di tengah pandemi Covid-19 menciptakan tantangan baru bagi internasionalisasi perguruan tinggi. Pasalnya, mobilitas fisik di bidang pendidikan, pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat di situasi pandemi pun terpaksa memanfaatkan fasilitas dunia maya. Dr. Ir. Ridwan., M.Sc. Direktur Kelembagaan, Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyampaikan muncul tantangan baru, yaitu bagaimana program ini (internasionalisasi) bisa dilaksanakan dengan baik tanpa mengurangi nilai, esensi, kualitas dan luaran mutu kegiatan meskipun dilakukan secara daring”.
Hal tersebut disampaikan dalam penyelenggaraan Workshop Penguatan Pengelolaan Kantor Urusan Internasiona, Kamis (12/11). Kegiatan ini diinisiasi oleh Universitas Padjadjaran (UNPAD) dan Universitas Islam Indonesia (UII). Melalui penyelenggaraan workshop diharapkan dapat memfasilitasi bidang kerja sama dan internasionalisasi Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia dalam membuat strategi untuk peningkatan rekognisi internasional.
Ridwan melanjutkan, pihaknya telah merancang reformasi internasionalisasi perguruan tinggi. Dimulai dari peningkatan akreditasi internasional. Hal ini dilakukan sebagai upaya pemerintah dalam meningkatkan luaran yang dapat bekerja di luar negeri. Saat ini, Kemendikbud sedang mengupayakan Indonesian Accreditation Board for Engineering Education (IABEE) untuk dapat menjadi akreditasi internasional. Reformasi selanjutnya adalah melanjutkan kerjasama yang telah terjalin dengan terus memberikan penyesuaian manajemen kolaborasi. Dan melakukan mobility without movement, hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan jaringan internet untuk tetap melaksanakan program-program kolaborasi.
Dengan segala keterbatasan mobilitas, Adhrial Refaddin, S.I.P., M.P.P. Sub Koordinator Penguatan Kelembagaan Perguruan Tinggi Kemdikbud menghimbau seluruh perguruan tinggi untuk tetap mendukung staf dan mahasiswanya agar tetap dapat melaksanakan internasionalisasi.
Keterbatasan mobilitas fisik, membuat perguruan tinggi perlu meninjau ulang esensi internasionalisasi. Internasionalisasi perlu dimaknai lebih dari sekedar mobilitas batas-batas teritorial. Seperti yang disampaikan Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D dalam sambutannya, Internasionalisasi perlu dimaknai dengan meningkatkan kualitas internasional. Kualitas ini termasuk di dalamnya adalah kualitas pembelajaran, riset, dan aktivitas lainnya. “Seperti dalam misi perguruan tinggi untuk memberikan pendidikan agar menjadi manusia global. Hal ini membuat pemahaman lintas budaya menjadi penting. Disinilah KUI (Kantor Urusan Internasional) punya peran vital, untuk menjadi orchestrator dan katalis,” terang Fathul Wahid.
Di sisi lain, Prof. Dr. Rina Indiastuti, S.E., M.SIE. Rektor UNPAD menerangkan bahwa internasionalisasi perlu dipandang sebagai jalan akses informasi ke ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). “Kita dapat belajar IPTEK dari negara lain. Dalam kondisi pandemi seperti sekarang, kita dapat mengamati bagaimana karakter dari pada pemangku kepentingan di semua negara. Dengan kita mengetahui IPTEK dan orang-orangnya, maka selain akses informasi kita juga bisa mendapatkan inspirasi. Namun tetap kita perlu memilah mana informasi yang bisa kita ambil,” paparnya.
Dalam praktiknya, UII telah menerapkan program-program internasionalisasi baik bagi mahasiswa, maupun tenaga kependidikannya. Disampaikan Ir. Wiryono Raharjo, M.Arch., Ph.D. Wakil Rektor Bidang Networking dan Kewirausahaan UII, sejak tahun 2007 UII telah membangun kemitraan dengan program The Australian Consortium for ‘In-Country’ Indonesian Studies (ACICIS). Program ini mengelola mahasiswa dari perguruan tinggi Australia yang ingin mengambil studi di Indonesia. Meskipun tidak memiliki hubungan langsung dengan perguruan tinggi di Australia, ACICIS menjembatani perguruan tinggi Indonesia untuk dapat menerima mahasiswa dari Australia.
Selain itu, UII juga menjalankan program Erasmus Repesea yang merupakan kolaborasi penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan reputasi dan kualitas riset universitas di kawasan Asia Tenggara. Hasil dari program ini berupa modul-modul pengajaran, yang akan dibagi dalam forum training. Staf pengajaran dimungkinkan untuk melakukan pengajaran di perguruan tinggi luar negeri, begitu pula sebaliknya dalam waktu-waktu yang singkat. Melalui Erasmus Repesea ini, UII mendapatkan peluang kolaborasi-kolaborasi baru, yaitu Universiti Teknologi Malaysia (UTM) mengajak UII untuk bergabung dalam program Erasmus+ANGEL.
Sama halnya dengan UNPAD yang juga menginisiasi program-program internasionalisasi baik inbound maupun outbound. Seperti disampaikan oleh Mohamad Fahmi, S.E., M.T., Ph.D. Direktur Pendidikan dan Internasionalisasi UNPAD. “Kita terus mengembangkan jejaring dengan berbagai kampus agar terus terlibat dalam kebermanfaatan,” sebutnya.
Mohamad Fahmi juga mengaku bahwa yang diperlukan dalam internasionalisasi dapat dimulai dari ide dan visi dalam perguruan tinggi terkait, “Apalagi di masa pandemi seperti ini ya, kita bisa mulai dengan yang mudah dulu misalnya dengan membangun website kampus yang berkualitas internasional,” pungkasnya. (VTR/RS)