Memperjuangkan Independensi Kekuasaan Kehakiman
Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII (HTN FH UII) mengadakan Webinar bertema Dua Dekade Perkembangan dan Dinamika Kekuasaan Kehakiman. Bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi RI, webinar ini menghadirkan tiga narasumber.
Ketiganya yaitu Dr. Sri Hastuti Puspitasari, M.H dan Dr. Idul Rishan, LL.M selaku dosen Hukum Tata Negara FH UII serta Dr. Fajar Laksono Soeroso, M.H selaku Kepala Bagian Humas dan Kerjasama Dalam Negeri MK RI.
Webinar dibuka dengan keynote speech oleh Dr. Suhartoyo, MA, hakim MK RI. Ia menjelaskan tatanan perkembangan negara telah diatur sedemikian rupa untuk menciptakan praktik bernegara yang lebih sejalan dengan perkembangan zaman. Tatanan tersebut lebih menegaskan pada prinsip bernegara hukum dan lebih memberikan jaminan bagi terwujudnya nilai-nilai demokrasi dan konstitusi.
“Kekuasaan kehakiman harus independen dalam pengertian secara struktural lepas dari cabang-cabang kekuasaan lainnya dan secara fungsional dalam memeriksa mengadili dan memutus setiap hakim tidak dipengaruhi dicampuri oleh kekuasaan ekstra yudisial” pesan Suhartoyo.
Narasumber pertama, Idul Rishan mengupas topik intervensi negara melawan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. “Kekuasaan kehakiman tetap perlu diintervensi oleh negara. Jangan membayangkan bahwa dia (kekuasaan kehakiman) bisa berjalan sendiri. Intervensi negara pasti masuk ke dalam kekuasaan kehakiman”, ujarnya menyampaikan pendapat berbeda.
Ia juga banyak menyinggung istilah independensi, konsep kemerdekaan, ancaman atas kemerdekaan, dan tantangan selama dua dekade kekuasaan kehakiman.
Di akhir penyampaian, Idul Rishan memberikan beberapa catatan untuk menunjang performa peradilan yang independen. Beberapa masukan yang ia berikan diantaranya memerankan Komisi Yudisial sebagai ‘Buffer’ (penghubung antara kepentingan politik pemerintah dan kepentingan lembaga peradilan).
Selain itu, prinsip independensi dan akuntabilitas harus bisa berjalan dinamis. Jika performanya baik akuntabilitas dikecilkan dan jika performa buruk maka independensi dikecilkan serta independensi dikuatkan.
DPR dalam Mekanisme Seleksi Hakim Agung dan Konstitusi
Di sisi lain Sri Hastuti membahas topik reformasi dan peran DPR dalam pengisian jabatan hakim agung dan hakim konstitusi. “Pada dasarnya reformasi itu arahnya adalah untuk menciptakan sistem politik yang demokratis di Indonesia. Dalam menciptakan hal tersebut maka ada sejumlah langkah konsolidasi di demokrasi”, ungkapnya.
Ia mengkritisi keterlibatan DPR dalam seleksi hakim agung dan seleksi hakim konstitusi. Menurutnya, meski hal itu adalah hasil konsolidasi demokrasi, namun tidak tepat jika disebut check and balance antar lembaga. Kalaupun DPR akan terlibat maka harus ditinjau ulang agar kemudian tidak subyektif dan tidak mengganggu prinsip independensi.
Sementara itu, Fajar Laksono menjelaskan relasi MK dan pembentuk undang-undang, serta bagaimana peran MK dalam skema legislasi yang diklasifikasikan menjadi dua, yaitu model konfrontatif dan model kooperatif.
Model konfrontatif adalah model yang secara terbuka tidak setuju satu sama lain, menggunakan cara ‘main kasar konstitusional’ untuk membatasi atau melemahkan kewenangan dan legitimasi lembaga.
Sedangkan model kooperatif yaitu dimana dua institusi bekerja mengambil peran bersama melindungi dan meningkat demokrasi dan hak-hak dasar, serta mendorong pencapaian tujuan negara. Ia tertarik untuk mengadaptasi atau mengelaborasi kedua model ini ke dalam konteks ketata negaraan Indonesia. (MRA/ESP)