Membongkar Grand Design Pelemahan Pemberantasan Korupsi
Kasus korupsi di Indonesia seolah telah menjadi ‘pandemi’ yang tak kunjung usai. Upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah sejak tahun 1999, mendapat serangan balik melalui upaya-upaya melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menanggapi hal ini Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) bersama Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum FH UII, Pusat Studi Hukum (PSH) FH UII, Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII, Lembaga Eksekutif Mahasiswa UII, serta Himpunan Mahasiswa Islam FH UII menyelenggarakan diskusi aktual dengan tema “Membongkar Grand Design Pelemahan Pemberantasan Korupsi” pada Sabtu (23/10).
Diskusi yang diselenggarakan secara daring melalui zoom meeting dan disiarkan secara langsung di kanal YouTube PSH FH UII ini menghadirkan pemateri Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, CBE. (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Dr. H.M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum. (Dosen FH UII), dan Rasamala Aritonang, S.H., M.H. (mantan Kepala Biro Hukum KPK). Jalannya diskusi dipandu oleh Dosen FH UII, Anang Zubaidy, S.H., M.H.
Rektor UII, Prof. Fathul Wahid., S.T., M.Sc., Ph.D. dalam sambutannya mengemukakan korupsi hingga saat ini terus menjadi kegelisahan anak bangsa. Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) yang setiap tahun dikeluarkan oleh Transparency International menjadi salah satu indikator, menunjukkan bahwa sejak tahun 2007 skor Indonesia selalu mengalami peningkatan.
Disampaikan Prof. Fathul Wahid, tingginya skor yang didapat menunjukkan semakin bersihnya suatu negara dari korupsi, dan skor ini tidak pernah turun dari tahun ke tahun. Namun, pada tahun 2020 Indonesia mengalami penurunan skor dari 40 ke 37. Ini yang kemudian menjadikan Indonesia terjun bebas dari peringkat 85 menjadi peringkat 102 dalam pemberantasan korupsi.
“Penurunan ini menampar upaya pemberantasan korupsi yang sudah diikhtiarkan sejak lama, terutama sejak berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2003,” tutur Prof. Fathul Wahid.
KPK yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi berubah menjadi bagian rumpun kekuasaan eksekutif. Selain itu, adanya pemecatan pegawai KPK dengan dalih tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK), juga merupakan salah satu implikasi dari status lembaga KPK yang menjadi rumpun kekuasaan eksekutif.
“Banyak pihak berteriak, termasuk para guru besar lintas kampus. Tidak ada yang berubah. Meski Ombudsman Republik Indonesia menyatakan bahwa proses pemecatan ini bermasalah, Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di rumpun eksekutif pun tidak bertindak,” tandas Prof. Fathul Wahid.
Prof. Azyumardi Azra menyampaikan fenomena korupsi saat ini setidaknya telah menyimpangi amanat reformasi, dengan beberapa peristiwa seperti, adanya kegaduhan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) KPK merupakan titik terendah upaya pemberantasan KPK. Hal ini dapat disebut sebagai warisan negatif (negative legacy) Presiden Jokowi yang sulit dipulihkan. Menurut Prof. Azyumardi Azra, hal ini dapat terjadi akibat dari adanya tindakan korupsi yang mulai merambah ke tiga lembaga triaspolitica (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).
“Upaya pelemahan KPK ini sebenernya sudah dilakukan kurang lebih 10 kali, DPR berusaha untuk mengubah UU KPK, dan baru berhasil pada tahun 2019 ini. Jadi saya rasa sempurna sekali persekongkolan di antara tiga lembaga ini,” ujarnya.
Selain itu, menurut Prof. Azyumardi Azra hal ini juga berkaitan dengan rezim ideologi pemerintah saat ini, yaitu ideologi ‘pembangunansime’ atau disebut juga dengan development mentalisme. Dalam ideologi ini, korupsi dalam tanda kutip ‘sah’ dilakukan asal tidak ada orang yang tahu. Hal ini yang kemudian menjadi penyebab munculnya anggapan apabila lembaga-lembaga pemberantas korupsi kuat, maka akan menghambat proses-proses pembangunan.
Sependapat dengan Prof. Azyumardi, Busyro Muqoddas mengatakan saat ini Indonesia merupakan Negara Kesatuan Koruptor Radikal Indonesia (NKKRI). Hal ini dikarenakan adanya upaya sistemik untuk melumpuhkan KPK, karena KPK dianggap dapat menjadi penghambat bagi mereka yang menjadikan pemilu dan pilkada sebagai tambang kekuasaan. Menurutnya, hal ini ada kaitaannya dengan kesukseskan pemilu selanjutnya. Selain itu, upaya pelemahan KPK juga diiringi dengan tindakan hoax, yaitu dari awalnya KPK itu independen, dirubah menjadi berada di bawah rumpun kekuasaan eksekutif.
Selain itu, lanjut Busyro Muqoddas, dikabarkan juga bahwa KPK merupakan markas Taliban, yang dengan dalih ini, pemerintah melakukan pembentukan pansel KPK untuk melakukan TWK yang kemudian meruntuhkan anggota-anggota KPK yang memiliki rekam jejak baik. Pansel tersebut juga melibatkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), yang kemudian menghasilkan pemecatan pada 57 anggota KPK. “Hingga saat ini, presiden memilih bersikap diam dan melakukan pembiaran. Ini merupakan sebuah cacat kadar serius sebuah kepemimpinan,” ujarnya.
Dengan demikian, menurut Busyro Muqoddas ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian terkait upaya pelemahan KPK ini, yaitu: 1) adanya upaya pelumpuhan dan pemecatan anggota KPK secara a-moral dan anti yuridis kepada 57 anggota KPK, 2) birokrasi negara semakin dalam kubangan dominasi oligarkhi bisnis dan politik yang merobek daulat rakyat, negara hukum, dan sendi-sendi demokrasi, 3) mengandung hikmah politik yang dapat menjadi momentum tepat untuk penambahan gerakan konsolidasi masyarakat sipil, di saat negara semakin krisis kepercayaan, kejujuran, dan kepemimpinan.
Pemateri berikutnya, Rasamala Aritonang, menyampaikan bahwa isu KPK ini bukan hanya merupakan isu personal, melainkan isu kolektif yang mejadi perhatian bersama. Perjalanan pemberantasan korupsi sudah dilakukan dari jauh hari, melalui berbagai pembentukan tim, satgas, maupun komisi yang dibuat untuk melakukan pemberantasan korupsi. Meski demikian, berbanding lurus dengan upaya pemberantasan korupsi, upaya pelemahan KPK sendiri juga semakin masif dilakukan sejak tahun 2005. Hal ini dibuktikan dengan adanya kasus Cicak vs Buaya jilid 1-3, revisi UU KPK 2019, hingga saat ini adanya pemecatan 57 kader terbaik KPK melaui proses seleksi TWK.
Rasamala Aritonang mengatakan, dampak dari disahkannya UU KPK setidaknya memuat tiga elemen, yaitu: 1) adanya alih status pegawai KPK dari anggota indenpenden menjadi ASN, 2) dalam penanganan perkara, penyadapan dan penggeledahan harus berdasarkan izin Dewan pengawas, 3) dalam hal kelembagaan, terdapat perubahan struktur organisasi yang tidak sesuai dengan UU KPK. Dimana lembaga KPK bersifat independen, sedangkan statusnya berubah menjadi di bawah rumpun kekuasaan eksekutif.
Dari persoalan-persoalan tersebut, Rasamala Aritonang menyimpulkan segala sesuatu yang ada pasti ada public reasoning-nya. “Kalau adanya KPK atas suatu argumentasi bahwa aparat penegak hukum lain tidak mampu untuk mengatasi korupsi, maka tesisnya adalah KPK harus mampu menunjukkan kemampuannya untuk memberantas korupsi,” paparnya.
“Artinya kalau KPK hanya sekedar ada, tanpa menunjukkan kemampuannya, bahkan berada di bawah penegak hukum lain. Maka, rasionalitas eksistensi KPK pada dasarnya akan menjadi hilang dengan sendirinya, akan kehilangan alasan kenapa kita tetap harus ada KPK. Namun, jika hal itu terjadi, pasti kita rugi besar,” tandas Rasamala Aritonang.
Jalannya kegiatan diskusi diakhiri dengan launching Posko UII Lawan Korupsi oleh Dekan FH UII, Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H. bersama perwakilan dari beberapa aliansi mahasiswa, yang dalam ketetapannya mencakup tujuh gugatan. Antara lain yakni: 1) mengecam upaya pelemahan pemberantasan korupsi secara sistematis, mulai dari proses pembentukan peraturan perundang-undangan hingga pelaksanaannya, 2) menuntut pemerintah untuk mengakumulasi kebijakan serta mengambil sikap tegas dan konkrit atas pelemahan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Selanjutnya, 3) mendesak kepada pemerintah untuk mencabut surat keputusan pemberhentian atas 57 anggota KPK yang disebabkan oleh TWK yang cacat secara formil dan materiil, 4) mendesak kepada presiden untuk menindaklanjuti rekomendasi dari Ombudsman dan Komnas HAM atas temuan maladministrasi dan 11 pelanggaran HAM dalam prosedur pelaksanaan TWK, 5) Mendesak pemerintah dan DPR untuk merevisi UU No 19/2019 tentang KPK, 6) Mengembalikan KPK sebagai lembaga independen tidak di bawah kekuasaan manapun, dan 7) mengajak masyarakat untuk berperan aktif mengawal pemberantasan korupsi dan mengawasi kinerja pemerintahan dan aparat penegak hukum. (EDN/RS)