Membendung Radikalisme di Kalangan Milenial
Usia muda merupakan salah satu kelompok yang rentan terpapar paham radikalisme. Menurut survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) di tahun 2011, 48,9% pelajar di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi bersedia untuk melakukan tindak kekerasan atas nama agama. Pada tahun 2017, survei Alvara Research Center menunjukkan 52,3% siswa sepakat dengan tindakan kekerasan atas nama agama dengan 14,2% di antaranya mendukung tindakan pengeboman. Seperti disampaikan Alif Satria, Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia dalam Pacific Forum Session 6 of The Virtual Forum Series dengan tema “Youth Resilience to Violence Extremism” pada Selasa (3/8).
Satria menambahkan bahwa menurut penelitian yang dilaksanakan oleh CSIS dan Wahid Foundation, radikalisme timbul karena hadirnya titik jenuh di tengah pelajar Indonesia. Penyebaran paham radikalisme terjadi melalui kelompok sosial, agama, dan lingkungan sekolah. Doktrin sebagai sebuah kelompok agama yang berjuang atas nama Islam melalui jalur peperangan dan perasaan tidak enak para pelajar untuk meninggalkan kelompok kajian menjadi penyebab utama mereka bertahan pada lingkungan radikal.
Menurut Satria, setidaknya ada 3 kebijakan strategis yang dapat dilaksanakan untuk meminimalisir radikalisme di kalangan pelajar. Ketiga kebijakan itu yakni penelitian secara massif untuk mengetahui kelompok-kelompok yang berisiko besar terpapar radikalisme di kalangan pelajar, mengembangkan program kontra-radikalisasi di kalangan pelajar, dan memaksimalkan kerjasama dengan institusi pendidikan untuk mengedukasi remaja yang mendukung perilaku radikal.
Remaja dan kaum perempuan juga berperan penting membendung radikalisme. Mereka perlu mendapatkan pendidikan terhadap nilai-nilai perbedaan budaya, cara berpikir kritis dan diperkenalkan kepada kebiasaan yang plural sehingga mampu menghadapi doktrin radikal yang sering kali diberikan oleh orang tua mereka. Hal ini disampaikan oleh Dwi Rubiyanti Khofifah, Direktur Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia.
Ia menambahkan bahwa poin utama yang harus dilawan perempuan adalah kemunculan stigma untuk tetap di rumah tanpa mengikuti kegiatan di luar. Hal ini menjadi isu penting yang sering kali terjadi kepada istri dan anak-anak para pelaku tindakan ekstremis. Individu dan organisasi non-pemerintahan berperan penting untuk membantu kesulitan yang dihadapi keluarga narapidana dan membantu anak-anak mereka terlepas dari doktrin radikalisme.
Dwi mengatakan bahwa AMAN Indonesia mencoba melawan stigma ini melalui program gerakan Stepout. Gerakan ini melawan stigma bahwa setiap perempuan harus terus berada di rumah seperti dialami para istri yang suaminya dipenjara lantaran terlibat tindak pidana terorisme. Novi mendampingi para istri napi teroris tersebut melalui gerakan menanam cabai dan sayuran yang kemudian dibagikan untuk menyambung hidup mereka. Gerakan ini mampu membantu para istri tersebut keluar kesulitan ekonomi.
Selain pemberdayaan terhadap para istri pelaku tindak pidana terorisme, AMAN juga menginisiasi program pemberdayaan bagi anak-anak ex pelaku terorisme melalui kegiatan pendidikan. Pada awalnya, fasilitator AMAN dikagetkan ketika mayoritas anak laki-laki menggambar pistol untuk mendeskripsikan aktivitas mereka di masa yang akan datang sebagai penerus sang ayah.
Sedangkan, para perempuan menggambar hijab untuk mengikuti jejak ibu mereka yang terkekang dengan aktivitas rumahan. Seiring waktu, ruang literasi yang dibangun Novi mampu merubah anak-anak tersebut yang terlihat dari beragamnya aktivitas di ruang literasi seperti menyanyi, menari dan beragam aktivitas di luar ruangan lainnya. (AP/ESP)