Membedah Peran PTUN Dalam Menyelesaikan Sengketa Administratif
Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (Dept. HAN FH UII) menyelenggarakan seminar nasional “Penyelesaian Sengketa Melalui Upaya Administratif dan Wacana Pembentukan Lembaga Eksekutorial di Pengadilan Tata Usaha Negara”. Seminar berlangsung secara hybrid di Ruang Auditorium Lt.4 Gedung FH UII dan melalui Zoom Meeting pada Selasa (6/9). Pembicara yang hadir di antaranya, Dr. Mailinda Eka Yuniza, S.H., LL.M., (Dosen FH UGM), Kristianto, (Plt. Kakanwil Direktorat Jenderal Pajak DIY), Dr. Umar Dani, S.H., M.H. (Hakim PTUN Jakarta), dan Dr. S.F. Marbun, S.H., M.Hum. (Dosen FH UII).
Mailinda menyampaikan bahwa sengketa administrasi adalah sengketa yang timbul antar perorangan dengan lembaga negara yang disebabkan oleh adanya kebijakan yang dibentuk atau diterbitkan oleh pejabat negara. Menurutnya, yurisdiksi pengadilan tata usaha negara mengalami perluasan.
Beberapa contohnya seperti tindakan pejabat pemerintahan yang pada awalnya tidak masuk sebagai bagian dari keputusan, pasca adanya UU No 30 /2012, tindakan pejabat pemerintah dapat dimaknai sebagai sebuah keputusan yang faktual. Hal ini pada implementasinya menambah kewenangan pengadilan tata usaha negara untuk mengatasi sengketa yang disebabkan oleh tindakan melawan hukum pejabat pemerintah.
Lebih lanjut, Mailinda menyebut fenomena tentang fiktif positif, yaitu sebuah fiksi hukum apabila pemerintah tidak menanggapi atau mengeluarkan suatu keputusan terhadap suatu tindakan yang diajukan kepadanya sampai waktu yang telah ditentukan. Fiktif positif bentuknya berupa permohonan, setelah sebelumnya berbentuk gugatan.
Namun, dengan adanya UU Cipta Kerja, kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) untuk memberikan putusan fiktif positif ini dihapuskan. Konsekuensinya, apabila ada peristiwa serupa yang berkaitan dengan fiktif positif, maka kasus tersebut dapat diajukan ke Pengadilan TUN dengan gugatan tindakan melawan hukum pemerintah.
Selanjutnya, SF Marbun menjelaskan bahwa ada dua upaya yang dapat dilakukan dalam menghadapi sengketa administrasi. Pertama, melakukan upaya administratif, yaitu upaya penyelesaian sengketa antara warga masyarakat dengan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang dilakukan di lingkungan pemerintahan sendiri. Menurutnya, hal ini menjadi persoalan karena dalam hal pemerintah sendiri yang akan menangani perkara itu. Sehingga, kurangnya sistem pengawasan dapat saja menjadi peluang bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan yang menguntungkan dirinya.
Meski demikian, SF Marbun menyampaikan bahwa ada beberapa kelebihan dalam upaya administratif. Diantaranya yaitu: upaya administratif cenderung mengutamakan asas kemanfaatan, dimungkinkan adanya pembentukan keputusan baru pasca dibatalkan putusan sebelumnya, dan berbagai perubahan yang terjadi selama masa pemeriksaan berjalan dapat diperhatikan. Sedangkan, kelemahan dari upaya ini adalah potensi berkurangnya netralitas dan objektivitas pemerintah dalam memeriksa dan memutus perkaranya sendiri.
Kedua, melakukan upaya yudisial yakni melalui upaya Pengadilan TUN. Lebih lanjut, SF Marbun berharap ke depannya perlu adanya pedoman hukum acara penyelesaian sengketa melalui upaya administratif, baik secara keberatan maupun banding administratif guna menjamin penyelesaian sengketa yang objektif dan adil bagi semua pihak.
Menanggapi penyampaian tersebut, Kristianto mengatakan bahwa pada prakteknya, dalam prosedur pembayaran di kantor perpajakan kerap kali mengalami sengketa. Ada tiga prosedur yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan sengketa pajak, yaitu: pertama, mengajukan upaya keberatan. Dalam pengajuan upaya ini, bidang perpajakan berkedudukan sebagai hakim untuk menentukan apakah pengajuan keberatan ini dapat diterima atau tidak. Nantinya, wajib pajak akan diteliti apakah wajib pajak telah memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan yang ada atau belum.
Jika wajib pajak, masih belum menerima dengan keputusan keberatan yang diajukan, maka cara kedua, wajib pajak dapat mengajukan upaya banding terhadap perkara tersebut. Ia menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2022, secara nasional upaya banding di perpajakan saat ini telah mencapai kurang lebih 11.000 sengketa di Pengadilan Pajak.
Ketiga, wajib pajak dapat mengajukan pengurangan biaya pajak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 23 dan 27 UU KUP. Tak hanya itu, Kristianto menyampaikan bahwa dalam UU KUP juga telah diatur ketentuan terkait eksekutorial, sehingga apabila pengadilan telah memutuskan tentang suatu sengketa pajak, maka putusan tersebut dapat segera dieksekusi. (EDN/ESP)