Membedah Ilmu Sosial dan Humaniora dalam Perspektif Islam
Ilmu sosial dan humaniora merupakan cabang ilmu untuk memahami aspek kehidupan manusia. Kedua ilmu ini telah dikaji sejak zaman pra-Islam maupun pada masa berkembangnya sains Islam modern. UII memiliki empat prodi di bawah Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) yang banyak mengkajinya. Keempat prodi ini yaitu Ilmu Komunikasi, Psikologi, Hubungan internasional, dan Pendidikan Bahasa Inggris. Pada Selasa (28/9), diadakan bedah buku hasil kolaborasi keempat prodi yang berjudul Ilmu Sosial dan Humaniora dalam Perspektif Islam. Pembicara yang hadir yakni Hariz Enggar Wijaya, M.Psi, Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra, M.A., M.Phil, dan Dr. Syamsuddin Arif, MA.
Hariz Enggar Wijaya berpendapat buku setebal 170-an halaman ini isinya sederhana. “Awalnya Dekan FPSB UII memberikan tugas kepada kami untuk mengembangkan keilmuan sehingga lahirlah buku ini. Kami sempat mencari-cari apa judul yang dapat memayungi keempat bidang prodi di FPSB UII”, katanya. Buku ini bercerita terkait problem di dunia pendidikan dan sains serta relasi agama dan sains berdasarkan sejarah.
Ia menambahkan paradigma problem relasi antara sains dan agama. Ada pendapat bahwa sains itu murni tanpa campur tangan agama. Keadaan ini menghasilkan filsafat materialisme dan ateisme. Selanjutnya terdapat paradigma bahwa sains dan agama masih terpisah namun keyakinan terhadap agama masih ada sehingga disebut sekularisme. Paradigma ini meyakini ada dua kebenaran yang terpisah antara sains dan agama. Paradigma ketiga adalah membaca dan memahami antara sains dan agama merupakan satu bagian yang terpadu atau dikenal dengan paradigma tauhid.
Sementara itu, Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra mengkritisi pada bagian tujuan penulisan terdapat istilah Islamisasi. Istilah ini memunculkan pertanyaan apakah Islamisasi pengetahuan sama dengan Islamisasi pendidikan?. Berdasarkan buku Al Faruqi (1982), Islamisasi merupakan anjuran untuk mempelajari ilmu pengetahuan bersamaan dengan ilmu agama.
“Dalam hal ini tentu kita boleh sepakat ataupun tidak dengan pendapat Al Faruqi. Sangat penting bagi penulis untuk mengulas secara detail istilah tersebut. Karena Islamisasi pengetahuan dan Islamisasi pendidikan memiliki makna yang berbeda yang dapat mengecoh pemahaman pembaca. Perlu ditelaah terkait perbedaan dan persamaan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Islamisasi Pendidikan (di Universitas), dan Pendidikan Islam (di Universitas)”, tegasnya.
Ia juga menekankan perlunya gambaran umum yang lebih tepat dan jelas terkait ilmu sosial humaniora, serta landasan ontologis dan epistemologis yang umum di semua cabang dalam ilmu sosial humaniora. Tanpa adanya gambaran umum kesepakatan akan sulit dicapai berkaitan dengan problem keilmuannya.
Pemateri terakhir, Dr. Syamsuddin Arif menilai terdapat pengaruh hidup Barat dan nilai filosofis Barat yang secara sadar dan tidak disadari sebenarnya sudah memasuki dan menyebar ke sumsum cabang ilmu pengetahuan.
“Maka saya kira yang disebut dalam buku ini terkait 3 landasan sudah tepat. Menarik bagi saya mengenai ulasan salah satu pendapat yang merupakan kritik terhadap tradisi keilmuan Barat Modern. Buku ini mengulas klaim objektivitas, netralitas, dan kritik terhadap teori yang dianut scientist yang mengabaikan aspek historis. Keadaan ini yang menyebabkan kita hanya mempelajari ilmu pengetahuan secara teknis saja”, pungkasnya. (FNJ/ESP)