Membedah Akar Masalah Konflik Sudan Selatan
Program Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (PSHI UII) mengadakan kuliah umum bertajuk “Memahami Konflik Sudan dari Perspektif Diplomat Indonesia”. Acara diadakan di Gedung Kuliah Umum (GKU) Prof. Dr. Sardjito UII, pada Jumat (28/7). Pembicara yang dihadirkan yakni Drs. Burhanuddin Badruzzaman, Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) Republik Indonesia untuk Republik Sudan dan Republik Eritrea 2014 (Maret) – 2017 (November). Kegiatan ini juga turut dihadiri oleh Dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) UII, Dr. Phil. Qurotul Uyun, S.Psi.,M.Si. Psikolog, serta segenap dosen dan mahasiswa/i PSHI UII.
Mengawali sekaligus membuka kuliah umum, Dr. Phil. Qurotul Uyun menuturkan pentingnya pemahaman terkait cara pandang sebuah konflik. “Konflik itu tidak dihindari tapi dihadapi, sehingga kita punya ilmu mengatasi konflik dengan perdamaian, kalau dalam Islam kan konflik itu menjadi perdamaian,” tuturnya.
Ia juga menyebut pentingnya menyikapi sebuah konflik dengan perspektif positif. “Konflik ya nggak apa-apa, tapi jangan membuat kita jadi tercerai berai, karena itu utama,” sebutnya.
Sementara pada sesi pemaparan materi, Drs. Burhanuddin Badruzzaman mengungkapkan kedekatan pemerintah Sudan dan Indonesia sudah terjalin sejak masa pemerintahan Soekarno. “Kita melihat adik kita sedang dalam masalah, sehingga ada perasaan khusus bagi kita sebagai kakak bagaimana adik ini selalu mengalami masalah dalam sejak kelahirannya sampai hari ini,” ungkapnya.
Ia pun menegaskan bahwa terdapat banyak konfrontasi militer-nonmiliter di sekitar perbatasan. “Di perbatasan-perbatasan Sudan ini selain perang antarmiliter, sesungguhnya banyak sekali pemberontakan yang membuat pemerintah Sudan, siapapun yang berkuasa sangat terganggu,” tegasnya.
Ditambahkan Drs. Burhanuddin Badruzzaman, bukan persoalan yang mudah menjadi pemimpin di negara konflik, salah satunya Sudan. “Dalam perspektif kekuasaan, Presiden Bashir itu termasuk luar biasa hebat karena menghadapi sekian banyak cobaan, dari dalam adalah pemberontakan-pemberontakan, kemudian dari luar itu juga bukan persoalan yang mudah sampai bisa bertahan hingga 30 tahun,” imbuhnya.
Sudan, negara dengan kekayaan alam yang berlimpah memiliki nasib yang kurang mujur, disebabkan oleh adanya konflik dalam dan luar negeri yang hingga kini terus berlanjut. “Negeri yang tadinya strategis dengan berbagai kekayaannya itu ternyata tidak bisa mendapatkan manfaat yang baik dari keadaannya, jadi sejak merdeka tahun 56 itu isinya konflik saja dari etnis atau suku-suku, terutama yang berada di perbatasan,” jelasnya.
Penyebab lain terjadinya konflik di Sudan adalah adanya kesenjangan antara masyarakat Sudan Selatan dan Utara, di mana Sudan Utara mendapatkan pembangunan yang jauh lebih baik dibandingkan Sudan Selatan. (JR/HM/ESP)