Membebaskan Diri dari Belenggu Diskriminasi Ras
Memperjuangkan hak konstitusional sekaligus sebagai subyek hukum merupakan cita-cita yang kini sudah berhasil dicapai. Meskipun saat ini masih ada proses lain yang belum selesai yakni untuk membebaskan diri dari diskriminasi berdasarkan perbedaan ras dan etnis. Kini perjuangan bergeser kepada hak untuk mengakses hak dasar berupa pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak.
Seperti disampaikan Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si dalam webinar virtual melalui zoom yang diselenggarakan oleh Takmir Masjid FH UII dengan tema “Perbedaan Etnis & Penerapan Hak-Hak Konstitusional dalam Pandangan Islam” pada Senin (21/3). “Sentimen yang berdasarkan atas perbedaan ras membuat stereotype dan sangat berbahaya bagi manusia karena menimbulkan prasangka ras dan menaikkan tindakan kriminal” ujarnya.
Menurutnya, diskriminasi ras menjadi penyebab terjadinya permusuhan dan tindakan saling menjatuhkan antara ras satu dan ras yang lainnya. Islam sangat menjunjung tinggi derajat manusia tanpa memandang ras dan golongan tertentu. Suparman menyebutkan contoh makna yang terkandung dalam Surat Al-Hujurat ayat 11. Ayat tersebut melarang kita untuk mencela satu sama lain, memanggil orang lain dengan julukan atau panggilan yang buruk, dan perintah bertobat agar tidak menjadi orang yang zalim.
Suparman juga menyebutkan bahwa menurut hasil riset dari seorang Ahli Genetika, orang Indonesia bukan berasal dari gen atau suku tertentu asli negara Indonesia. Melainkan berasal dari keberagaman ras yang paling banyak berasal dari orang Afrika yang kemudian berevolusi dan bertempat tinggal di wilayah Indonesia,” ujarnya.
Oleh karenanya, menghargai dan menghormati perbedaan, baik dalam segi perbedaan ras, suku, golongan, dan sebagainya adalah hal yang sangat penting. Apabila seseorang tidak menghormatinya, maka dia tidak menghormati Al-Qur’an yang telah memerintahkan umat manusia untuk saling menghormati sesamanya di muka bumi ini.
Selanjutnya pembicara lain, Ahmad Sadzali, M.H. (Dosen FH UII) mengatakan adanya perbedaan pandangan mayoritas-minoritas dalam Islam dan Barat. “Bangsa Barat memandang dominasi kekuasaan dikendalikan oleh kelompok mayoritas, sehingga sering muncul persepsi bahwa kelompok mayoritas berkuasa atas kelompok minoritas. Sementara menurut Islam, antara mayoritas dan minoritas hanya memiliki perbedaan dalam segi kuantitas, dan tidak berpengaruh sama sekali dengan hubungan kekuasaan antara keduanya”, ungkapnya.
Ia juga menambahkan, terkait hak konstitusional kelompok Islam radikal tidak ada perbedaan dengan masyarakat biasa, mereka memiliki hak yang sama dan dijamin oleh UUD. “Menurut konstitusi, kelompok Islam radikal harus diperlakukan sama dengan warga biasa, yang berbeda hanya bagi mereka dicabut hak untuk memiliki paspor,” ungkapnya. Tindakan kelompok Islam radikal yang seringkali membahayakan masyarakat, karena kebanyakan mereka hanya memahami Al-Qur’an dan Hadits secara tekstualis.
Untuk itu, negara berkewajiban menegakkan hukum serta mengubah pandangan mereka terkait pemaknaan Islam ke arah yang lebih baik. Kurangnya pemahaman tentang Islam secara menyeluruhlah yang pada akhirnya membuat mereka melakukan tindakan-tindakan berbahaya yang hanya berdasar pada pemahaman tekstualis. (EDN/ESP)