Membawa Tiongkok ke Peradilan Internasional karena Pandemi Covid-19
Beberapa lembaga non-pemerintah yang berbasis di Eropa menuding Tiongkok sebagai biang keladi pandemi virus corona (Covid-19) yang kini menyebar ke seluruh dunia. Mereka bahkan berencana membawa permasalahan itu ke Peradilan Internasional. Merespon isu tersebut, CLDS UII mengadakan seminar yang mengundang pakar hukum dan hubungan internasional. Acara diadakan secara daring sebagai langkah memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Prof. Sefriani, M.Hum, salah seorang pakar hukum internasional UII menilai pihak yang akan menuntut Tiongkok harus memenuhi beberapa prasyarat agar tuntutannya diterima oleh Peradilan Internasional. “Harus dilimpahkan kepada negara dan harus timbul kerugian apabila mau digugat ke Peradilan Internasional. Pelanggaran apa yang terjadi apabila benar akan diajukan ke Peradilan Internasional? Karena sudah lebih dari 190 negara di dalam WHO yang terkena pandemi”, katanya.
Ia menyebut International Health Regulation (2005) mengabaikan negara asal wabah. “Kegagalan ada di tingkat keadilan sistem nasional, terhadap stadar minimum yg ditentukan oleh IHR. Pasal 7 tentang information sharing yg tidak dilakukan dengan baik oleh Tiongkok berpotensi dapat digunakan”, jelasnya.
Masalah fundamental adalah ICC atau Mahkamah Pidana Internasional belum tentu punya yurisdiksi untuk memproses tuntutan karena harus melalui persetujuan antara kedua belah pihak, agar tidak ditolak serta melalui majelis umum PBB untuk menentukan.
Sementara itu, pembicara lainnya Prof. Bambang Cipto mengkritisi cara berpikir negara Barat yang konservatif dalam menghadapi pandemi global. Nampak di antara mereka tidak ada kepemimpinan yang bagus dalam membendung penyebaran virus. Sehingga masing-masing negara menerapkan resep kebijakan yang berbeda.
Selanjutnya, ia juga menggarisbawahi bahwa untuk membawa Tiongkok ke Peradilan Internasional bukan perkara mudah. “Problem besarnya adalah gejala negara Barat kehilangan kemampuannya. Lembaga internasional juga lalai. Secara politik karena adanya tekanan besar masyarakat internasional. Tiongkok kini dianggap sebagai negara adikuasa, hal ini membuat negara lain berpikir kembali untuk membawanya ke Mahkamah Internasional”, jelasnya.
Dari segi hubungan internasional, dosen HI UII, Hangga Fathana, MA juga menyorot dominasi Tiongkok dalam bidang ekonomi dunia. “Dari perspektif politik ekonomi global, tahun 2025 Asia mendominasi kebutuhan ekonimi dunia. Tahun 2015 sudah melebihi 50%. Sebagian besar didominasi oleh Tiongkok sehingga apakah bisa membawa Tiongkok ke Peradilan Internasional?”, sebutnya.
Ia mengutip pendapat Susan Strange, bahwa kekuasaan struktural negara bisa dilihat dari empat hal. Pertama, kekuasaan pilar struktur keamaan. Kedua, manufaktur yg baik. Ketiga, kreditor cukup layak. Keempat, menguasai ilmu pengetahuan.
Keempat hal itu telah dimiliki Tiongkok di mana ia adalah negara dengan kekuatan militer terbesar nomor 3 di dunia setelah Amerika dan Rusia. Tiongkok juga menguasai industri manufaktur dunia sebanyak 20%. Tiongkok pun sudah mengalahkan IMF termasuk Amerika dalam memberikan pinjaman kepada negara lain. Tiongkok juga memiliki 1,5 juta aplikasi paten sehingga menjadi nomor 1 di dunia.
“Pertama kapan dan jika akan menentukan strategi diplomasi. Rekam jejak Tiongkok sangat asertif jika ada gugatan. Bahkan tidak hanya ke negara Asia Tenggara. Apabila Tiongkok digugat, maka negara penggugat harus siap menerima konsukuensinya khususnya di bidang ekonomi perdagangan”, pungkasnya. (MRA/ESP)