Membangun Peradaban Keilmuan dari Perspektif Maqasid
Mayoritas masyarakat muslim di Indoneisa menganut Mazhab Syafi’i. Manhaj ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang hidup dan beredar secara luas di dalamnya. Perspektif maqasid adalah perspektif yang seimbang dan utuh karena mampu menunjukkan kepada umat muslim integrasi terhadap ilmu. Hal ini dikemukakan Dr. Ali Abdul Mun’im, M.A. pada acara Sekolah Online Ketahanan Keluarga (SEKOLA) 2021, pada Sabtu (23/1) secara daring.
Kegiatan yang diselenggarakan Pusat Studi Gender Universitas Islam Indonesia (UII) mengangkat tema Maqasid Untuk Keluarga Islam, pada pertemuan ketiga yaitu Maqasidisme: Teori Wujud Pengetahuan dan Nilai (Filosofi Maqasid : Ontology, Epistimology dan axiology) dengan menghadirkan Ali Abdul Mun’im sebagai pembicara.
Ali Abdul Mun’im mengemukakan, bahwa dalam menjalankan integrasi terhadap ilmu dapat dilakukan dengan cara membaca Al-Qur’an secara utuh menggunakan metode tilawatul ayat, karena Al-Qur’an menunjukkan kepada manusia ilmu pengetahuan dar tiga sumber yaitu alam, psikologi sosial dan ilmu pengetahuan yang bersumber dari wahyu. Al-Qur’an juga melatih seseorang untuk melakukan tashawwur muhkam agar terbentuk di benak manusia sebuah gambaran utuh mengenai pengertian zaman secara ‘aam (umum) dan zaman khos (khusus). Karena faktor-faktor pembentuk pengalaman manusia terdapat pada zaman ‘aam bukan zaman khos.
Sebagaimana di dalam kehidupan berkeluarga, zaman secara umum menandakan adanya laki-laki dan perempuan, emosi-emosi seperti marah, sedih dan senang, semua terekam sejak zaman Mesir kuno, China kuno hingga saat ini. “Sedangkan zaman secara umum dapat seperti cara mendapatkan uang, dulu orang bekerja secara manual dan sekarang menggunakan sarana teknologi tertentu, hal-hal seperti ini adalah zaman secara khusus yang perlu dipertimbangkan, akan tetapi jangan sampai larut dan melupakan hakikat penciptaan manusia yaitu untuk beribadah,” tuturnya.
Ali Abdul Mun’im juga menjelaskan bagaimana membangun keilmuan atau peradaban dengan kacamata qur’ani. Tilawatul ayat (menghimpun tanda tanda secara sistemastis), ta’lim al kitab wal hikmah (saling bertulis dan mengontrol sesuatu secara kokoh serta berkelanjutan), tazkiyah dibutuhkan untuk mengembangkan membersihkan dengan qolbun (hati), karena hati adalah perangkat yang mengatur tanda-tanda dan mengatur nilai, orientasi dan sikap.
“Produk ataupun capaian yang didapatkan dari ketiga konsep tersebut yaitu tashawwur muhkam dihasilkandari konsep tilawatul ayat. Ta’lim al kitab wal hikmah menjadikan tashorruf hakim dan konsep tazkiyah menghasilkan qolbun salim,” imbuhnya.
Ali Abdul Mun’im menjelaskan lima konsep yang ada di dalam keluarga. Iklim konseptual qur’ani menjadi hal penting karena di dalamnya terkandung maksud-maksud pokok yang harapannya dapat menuntun kehidupan keluarga di dunia yang kelak menjadi bekal akhirat. Lima konsep itu antara lain, ad-diin (agama) Islam dijadikan untuk mewakili hubungan hamba dengan Allah, al-khalaq wa al amr, al-khuluq, al syari’ah wa al minhaj, dan al-qasdu (nilai inti di dalam suatu tujuan).
“Al-qasdu itu adalah manhaj yang disesuai dengan ketentuan awal, semua nilai-nilai di dalamnya merupakan nilai asli bersifat generic, yang kita lakukan adalah me-refresh makna-makna generic di dalamnya, karena semua ini bukanlah hal yang baru akan tetapi merupakan hal yang dinamakan pembaharuan,” terangnya. (HA/RS)