Membandingkan Teori Regret dari Perspektif Barat dan Islam
Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) UII menyelenggarakan bedah buku daring dalam rangka memperingati Milad Fakultas ke-27. Acara yang diselenggarakan pada Sabtu (22/4) melalui Zoom meeting. Buku yang dibedah berjudul Regret Theory: Perspektif Barat dan Islam, dengan menghadirkan pemateri sang penulis, Dr. Faraz, SIP., M.M., dan pengulas Rahmat Hidayat, S.Psi.,, M.S.c., Ph.D.
Faraz mengungkapkan alasan menerbitkan buku ini karena tertarik ingin melihat bagaimana teori regret dari perspektif Islam. Konsep regret menggambarkan suasana sedih (sorrow) atau kecewa (disappointment) atas sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan (Landman, 1987). “Ini dalam perspektif Islam sebenarnya regret sendiri tidak karena sudah terjadi tapi sebelum terjadi bisa regret juga,” imbuh Faraz.
Dalam penerapan Islam misalnya ketika akan pergi membaca doa. “Ini perilaku regret dalam perspektif Islam,” ujar Faraz. Regret masuk dalam emosi negatif dan lebih dekat dengan sadness (richins, 1997). Regret bersinonim dengan sadness, ia berada pada satu garis kontinum, di mana intensitas sadness relatif lebih tinggi (Schouwburg, 1978).
Contohnya, ada satu keluarga yang meninggal. Maka anggota keluarga akan mengalami sedih yang mendalam. Dalam konteks ini seharusnya tetangga juga merasakan kesedihan. “Menghadiri suatu takziah seyogyanya tidak ada makan minum, karena orang sedih tidak relevan makan dan minum. Ini relevansi regret dalam Islam,” tegas Faraz.
Ia menambahkan konsep regret teori ini diartikan sebagai sesuatu yang tidak dipilih dan menyebabkan berpengaruh pada psikologi. “Contohnya, anak SD mendapatkan nilai Matematika 6. Jika dilihat dari expected utility theory, maka nilai 6 adalah nilai jelek. Karena standart yang bagus adalah 10. Hal ini akan berdampak pada psikologis. Tapi faktanya, banyak yang mendapatkan nilai 6 dan senang. Karena teman-temannya mendapatkan 4, 2, 1, yang artinya nilai 6 itu yang bisa berdampak pada psikologisnya bukan karena 6 nya, tapi karena item yang lain,” ungkap Faraz.
Adanya regret dikarenakan proses kognitif pada manusia. “Orang yang bertindak kecenderungannya akan lebih mengalami regret,” jelas Faraz. Dalam perspektif Islam, Al-Qur’an banyak membicarakan tentang regret atau penyesalan. Setelah dikaji makna penyesalan mirip dengan konsep regret: sebagai emosi sedih.
Teori regret dalam perspektif barat dan Islam, secara definisi saja sudah memiliki perbedaan. Perspektif barat, teori regret diartikan sebagai emosi negatif yang muncul karena membandingkan produk yang dibeli dengan yang tidak dibeli. Dalam perspektif Islam diartikan sebagai emosi negatif yang muncul karena membandingkan perilaku yang dilakukan dengan yang sebenarnya.
Menanggapi hal itu, Rahmat Hidayat mengulas kontekstualisasi teori regret dalam kehidupan sehari-hari. “Perilaku kita lebih didorong oleh keinginan untuk menghindari penyesalan di belakang hari, dibandingkan motivasi untuk mendapatkan manfaat saat ini, ini adalah inti dari berbagai bentuk teori regret,” ungkap Rahmat.
Rahmat menegaskan bahwa ada beberapa macam teori regret, baik dalam teori psikologi, psikologi ekonomi serta di bidang keuangan atau finance. Hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmu dan akal manusia untuk memahami hukum alam di dunia. “Sebelum memahami bahwa unsur terkecil setiap materi adalah atom, di bawah atom ada unsur-unsur yang kecil. Diperlukan waktu ribuan tahun,” ujar Rahmat.
Ketika menyiapkan untuk melakukan kajian ada satu metodologi untuk kajian keislaman. Metodologi hermeneutika, hingga dikaji ayat-ayat dalam Al-Quran dengan pendekatan hermeneutika, misalnya fokus pada satu konsep.
“Dengan konsep hermeneutika, kita akan mampu mengkonstruksikan apa yang dimaksud penyesalan dalam Al-Qur’an kemudian dibandingkan konstruk dalam teori ilmu pengetahuan tentang regret, kemudian perbandingannya akan terlihat,” tutup Rahmat. (LMF/ESP)