Memahami Pancasila Sebagai Filosofi Grondslag
Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan sebuah Kuliah Pakar untuk bidang Mata Kuliah Wajib Universitas (MKWU) yang bertemakan “Pancasila Sebagai Filosofi Grondslag”. Acara ini diselenggarakan pada Sabtu, (26/11) di Gedung Prof. K.H. Abdul Kahar Mudzakkir dan dihadiri oleh Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Keagamaan, dan Alumni, Dr. Drs. Rohidin, S.H., M.Ag sebagai narasumber.
Rohidin dalam penyampaian materinya mengatakan bahwa ada beberapa hal penting yang perlu dipahami. Pertama, kemerdekaan adalah hak segala bangsa, sehingga kemerdekaan Indonesia bukan pemberian dari pemerintahan kolonial atau pemberian siapapun, melainkan berkat rahmat Allah Swt. Kedua, setiap negara yang merdeka pasti memiliki filosofi grondslag atau cara pandang tentang jati dirinya atau karakter dari sikap bangsa dirinya.
Filosofi grondslag adalah dasar filosofis yang di atasnya itu didirikan bangunan negara yang berdaulat. Filosofi grondslag yang dimiliki bangsa Indonesia memiliki karakter khusus yang berbeda jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Amerika Serikat misalnya, negaranya terbangun di atas filosofi grondslag karena migran dari bangsa-bangsa lain, seperti migran dari Eropa, Afrika, dan Asia yang berasal dari orang Yahudi.
Adapun, filosofi Indonesia tersusun dari asas-asas kultural yang dimiliki dan melekat pada bangsa itu sendiri. Tidak ada migran di Indonesia, melainkan yang ada adalah bangsa Indonesia sendiri. Nilai-nilai kenegaraan dan kemasyarakatan yang terkandung dalam Pancasila itu bukan hanya hasil konseptual seseorang saja, melainkan hasil konsensus dari seluruh anak bangsa yang dihasilkan dari nilai-nilai kulturalnya.
Sehingga, munculah istilah Pancasila harga mati yang tidak bisa diubah, dan apabila diubah maka Indonesia menjadi tidak ada atau hilang. “Muncul komitmen harga mati yang tidak bisa diubah, karena ini perjanjian yang luhur, perjanjian yang suci, yang dibangun oleh bangsa Indonesia, yang dibuat oleh bangsa Indonesia, yang harus dilestarikan oleh kita semua, dan jika mengubahnya itu maka eksistensinya akan menjadi hilang,” ujarnya.
Ketiga, filosofi grondslag dirumuskan dan diperdebatkan dalam sebuah sidang yang bermartabat, yakni sidang BPUPKI yang diselenggarakan dalam dua kali sidang. Sidang pertama diselenggarakan pada tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945, yang mana pada waktu itu anggota BPUPKI ini berjumlah 60 orang yang diketuai oleh Dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat, yang dibantu oleh dua Ketua Muda yaitu Raden Panji Soeroso dan Ichibangase Yosio (dari seorang bangsa Jepang).
Pada sidang tersebut, setelah Ir. Soekarno berpidato untuk menyampaikan usulannya, sidang kemudian menerima usulan tersebut dengan nama Pancasila sebagai dasar negara filosofi grondslag. Pancasila juga berkedudukan sebagai staat fundamental norm. Selanjutnya sidang kedua BPUPKI dilaksanakan pada 10-16 Juli 1945 yang menghasilkan naskah awal dan diberi nama dengan pembukaan hukum dasar. Naskah ini kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta yang merupakan naskah awal pernyataan kemerdekaan Indonesia, yang dalam alinea keempatnya terdapat rumusan Pancasila.
Lebih lanjut, Rohidin menjelaskan mengenai karakter berpikir filsafat dalam melakukan perumusan Pancasila. Radikal adalah salah satu cara berpikir filosofis. Radikal memiliki dua pengertian, yaitu dalam pengertian filsafat radikal itu berpikir sampai pada inti persoalan. Sedangkan dalam pengertian politis bersifat ekstrimis dan dimungkinkan bersifat negatif. Lebih lanjut, perumus Pancasila dalam merumuskan Pancasila juga menggunakan cara berfikir prismatik. Sehingga dari sekian banyak bangsa, suku, dan bahasa yang ada di Indonesia disatukan dalam konsep Pancasila yang kemudian dikenal dengan Bhinneka Tunggal Ika.
Melalui keragaman tersebut, kemudian terbentuklah suatu dasar negara sebagaimana yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila. Jika melihat pada sila-sila yang terdapat dalam Pancasila, sila pertama tentang Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar implementatif tingkah laku masyarakat. Masyarakat wajib beragama untuk senantiasa menyembah Tuhannya, kepercayaan kepada Tuhannya ini kemudian diimplementasikan dengan tindakan toleransi melalui sifat kemanusiaan yang beradab. Selanjutnya, bangsa Indonesia yang berasal dari berbagai macam suku dan budaya senantiasa saling bahu-bahu untuk menjadi satu sebagaimana bentuk implementasi dari sila ketiga yaitu persatuan Indonesia.
Terakhir, Rohidin menyampaikan bahwa prismatik Pancasila terdiri dari empat hal, yaitu: 1) Perpaduan individualisme dan kolektivisme, 2) Integrasi dari civil law dan rule of law, 3) perpaduan law as tool of social engineering dan living law, dan 4) Bukan negara agama dan bukan negara sekuler.
“Kita ini tengah-tengahnya, kita bukan negara agama dan bukan negara sekuler. Kita adalah negara di antara dua ini, agama kita hormati tetapi kebebasan individu pun kita hormati pula,” ujarnya mengakhiri materinya. (EDN/ESP)