Memahami Al Quran dalam Konteks Asbabun Nuzul
Memahami Al Quran tidak sebatas pada terjemahannya, akan tetapi membutuhkan pemahaman asbabun nuzul dari setiap ayat-ayat yang diturunkan. Topik ini mengemuka dalam kajian yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan dan Pembinaan Agama Islam (DPPAI), pada Senin (28/10) di Masjid Ulil Albab Kampus Terpadu UII. Pada kajian kali ini, DPPAI UII menghadirkan K.H. Baha’uddin Nursalim.
Mengawali kajian, Gus Baha menjelaskan tentang riwayat dari kiblat. Kiblat shalat pada kala itu yang awalnya menghadap baitul maqdis kemudian berpindah ke arah ka’bah setelah adanya perintah dari Allah. Hikmah dari menjadikan baitul maqdis sebagai kiblat untuk mengingatkan bahwa tempat tersebut pernah menjadi poros agama sebelumnya yaitu Yahudi.
Disampaikan Gus Baha, Nabi Muhammad SAW mendapatkan protes dari kaum Yahudi karena perpindahan kiblat. Kemudian Nabi menjawab bahwa ka’bah lebih tua dari pada baitul maqdis.
Gus Baha melanjutkan, kaum Yahudi pada saat itu meminta bukti kepada Nabi Muhammad SAW. Ia menjelaskan bahwa bukti ka’bah merupakan bangunan yang lebih tua karena terdapat jejak Nabi Ibrahim AS. Dimana Nabi Ibrahim merupakan bapak dari para Nabi.
Penjelasan Gus Baha dalam kajian ini tidak hanya sampai pada riwayat tentang kiblat umat Islam, ia juga menceritakan tentang asbabun nuzul yang berkaitan dengan wanita-wanita yang haram untuk dinikahi. Terdapat empat wanita yang haram dinikahi yaitu haram karena nasab, sesama persusuan, karena mushaharah dan karena istri orang lain.
Menurut Gus Baha memaknai Al Quran tanpa asbabun nuzulnya itu tidak bisa. “Beragama itu harus sehat, sebab agama mengikuti bil lisani,” tegasnya.
Permasalahan yang tengah dihadapi yakni kurangnya kajian mengenai Al Quran sehingga banyak istilah-istilah yang terdengar asing. Dihadapan jamaah Gus Baha juga menjelaskan logika berfikir. Nabi Muhammad SAW menggunakan logika berfikir nubuwwah. Logika berfikir nubuwwah ini ia sampaikan melalui kisah Nabi Muhammad SAW.
Zaman Nabi Muhammad SAW selalu memberikan pelayanan pada umat yang baru memeluk agama Islam. Hal ini sempat menimbulkan pertanyaan dikalangan kaum Anshor kala itu. Akan tetapi melalui logika berfikir nubuwwah, kaum Anshor menerima alasan Nabi Muhammad SAW yang tidak ingin menurunkan derajat kaum Anshor. Sebab kaum Anshor sejak awal selalu memberi, maka dengan demikian kaum Anshor akan tetap menjadi pemberi dan derajatnya tetap di atas.
Kisah yang lain, Gus Baha memaparkan sistem kepegawaian pada masa kepemimpinan Abu Bakar as-Sidiq, memberikan gaji dengan sama rata antara pemeluk Islam lama dan baru yang kala itu sempat menimbulkan protes. Kemudian dijawab oleh Abu Bakar, bahwa balasan bagi sahabat yang telah berislam lama didapatkan di surga, sedangkan di dunia hanya mendapat balasan sesuai profesinya.
Berbeda ketika kepemimpinan dipegang oleh Umar bin Kattab. Sistem pemberian gaji pada masa itu didasarkan pada lamanya beriman. Melalui kisah-kisah tersebut, Gus Baha ingin mencontohkan bahwa orang-orang terdahulu pada masa Nabi Muhammad SAW memiliki kecerdasan berfikir nubuwwah.
Sebaliknya dengan kondisi yang dihadapai pada masa kini, kebanyakan memiliki kecerdasan tamak. Gus Baha menyampaikan vonis terhadap orang kikir dikarenakan adanya harapan pemberian dari orang lain. Gus Baha mencontohkan jika orang yang tidak saling mengenal maka orang tersebut tidak akan memvonis orang lain kikir karena tidak ada rasa tamak.
Menurut Gus Baha perbedaan yang mencolok pada masa Nabi Muhammad SAW dengan masa kini yang tidak memahami kecerdasan nubuwwah, yakni apa yang dikerjakan harus mendapat balasan yang setimpal. (NR/RS)