Meluweskan Hukum Ketenagakerjaan di Era Disrupsi
Departemen Hukum Administrasi Negara FH UII menyelenggarakan kuliah umum hukum ketenagakerjaan bertemakan “Kompleksitas Permasalahan Ketenagakerjaan Indonesia di Era Disrupsi”. Pembicara yang dihadirkan adalah Prof. Dr. Ari Hernawan, S.H., M.Hum. (Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan FH UGM) dengan diikuti lebih dari 250 peserta dan disiarkan secara live stream melalui Youtube FH UII.
Prof. Ari Hernawan dalam materinya menjelaskan persoalan hukum aktual sektor ketenagakerjaan sekarang ini terbagi menjadi 3 yakni revolusi industri 4.0, era disrupsi, serta era normal baru dan ketidaksiapan hukum terhadap perubahan.
Ia juga menyoroti fenomena hukum yang muncul di era disrupsi. Sebagai contoh status pekerja tetap yang bergeser kepada kebutuhan pekerja yang tidak tetap (freelance, pekerja paruh waktu). Selain itu, ada juga masalah pengupahan, jaminan sosial, K3, dan pengawasan. Untuk menyelesaikan segenap permasalahan ketenagakerjaan itu dibutuhkan pendekatan sistemik yang meliputi substansi, aparatur, struktur, dan kultur.
Ia menilai, di era disrupsi, hukum seharusnya mampu mengejar perubahan masyarakat. “Karena hukum selalu mengikuti masyarakat. Hukum ditentukan secara historis yang artinya selalu berubah menurut waktu dan tempatnya. Indonesia menganut sistem hukum kontinental yang berarti sumber hukum utamanya adalah peraturan perundang-undangan sementara masyarakat berubah begitu cepat. Yang mengakibatkan hukum ketenagakerjaan relatif kaku/tidak luwes karena peraturan perundang membutuhkan waktu untuk mengejar perubahan masyarakat”, jelasnya.
UU Ketenagakerjaan di dalamnya mengatur dua kebijakan. Pertama tentang kebijakan ketenagakerjaan yang meliputi angkatan kerja, pengembangan SDM, dan pasar kerja. Kedua kebijakan hubungan industrial yang berisi perlindungan hukum dalam hubungan kerja antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah yang mewakili negara.
Di akhir paparannya, ia memberikan solusi agar hubungan antara hukum ketenagakerjaan dan hubungan industrial semakin luwes di era disrupsi. Kuncinya adalah pemerintah hendaknya mengurangi perannya dalam menentukan syarat-syarat dan kondisi kerja.
“Perumus kebijakan perlu lebih sistematis dalam membuat kebijakan antara ketenagakerjaan dan hubungan industrial. Materi hukum dapat diambil dari perasaan hukum masyarakat. Tidak ketinggalan, kesiapan aparatur dan struktur, unit organisasi pelaksana dan infrastruktur agar berjalan dengan baik”, pungkasnya. (FHC/ESP)