Masihkah Kampus Memiliki Kebebasan Akademik?
Diskusi hukum ketatanegaraan yang diselenggarakan oleh komunitas FH UGM batal digelar. Hal ini lantaran adanya kecaman dan aksi teror terhadap mahasiswa FH UGM selaku penyelenggara, baik berupa pesan instan bahkan ancaman pembunuhan. Pembicara dalam diskusi tersebut, yakni guru besar HTN FH UII Prof Ni’matul Huda pun tidak luput dari teror orang yang tidak bertanggung jawab. Kejadian tersebut mengingatkan pada beberapa peristiwa serupa yang terjadi di kampus-kampus lain. Lantas masihkah kampus memiliki kebebasan akademik?.
Permasalahan tersebut mendapat respon dari Forum Kajian Penulisan Hukum (FKPH) FH UII lewat diskusi yang menyoal terbelenggunya kebebasan akademik dengan menghadirkan dua narasumber yakni Dr. Suparman Marzuki, dosen FH UII dan tokoh serta aktivis HAM, Haris Azhar.
Menurut Haris Azhar kebebasan akademik berangkat berdasarkan dari pendasaran filosofisnya yang berasal dari kebebasan. “Kebebasan itu bukan suatu yang diberikan oleh negara namun dia adalah sesuatu yang ada pada diri manusia. Menurut sejarahnya kebebasan manusia jauh lebih dulu ada konsepsinya dibandingkan suatu negara atau konstitusi”, jelasnya.
Ia memperjelas bahwa kebebasan itu juga bukan miskonsepsi yang menganggap bahwa suatu kebebasan merupakan segala hal yang dapat dilakukan semena-mena. Namun dalam konteks manusia dan hak asasinya, bebas itu artinya manusia harus menikmati modalnya, seperti bebas berfikir, bergerak, sesuai dengan peran yang ada pada tubuhnya.
“Ada dua jenis hak yang sangat terkait dengan kejadian kemarin dan di beberapa tempat, yakni hak kebebasan berekspresi dan hak kebebasan mendapat ilmu pengetahuan/ kebebasan akademik.” ujarnya. Ia melihat adanya dugaan pelanggaran secara hukum terhadap UU Pendidikan dan sisi hak asasi manusia yakni pelanggaran terhadap kebebasan berkumpul, kebebasan pengetahuan, berpendapat, dan keterbukaan informasi.
“Jika kita baca di pasal 1 angka 6 UU No. 39 itu menyebutkan bahwa pelanggaran HAM itu ada 2 yaitu jika ada pelanggaran terhadap hak yang dijamin dan pada unsur yang kedua yang paling penting jika pelanggaran-pelanggaran tersebut tidak mendapatkan pemulihan”, paparnya.
Haris Azhar memberikan contoh adanya berbagai macam kasus di berbagai tempat yang tidak pernah diproses secara hukum. Di sinilah terjadi pelanggaran HAM karena setelah dilanggar mereka yang menjadi korban dibiarkan dan tidak ada kejelasan hukumnya.
Ia melihat bahwa tema acara masih wajar dan merupakan topik yang konstitusional karena secara substansinya ada dalam konstitusi, yang artinya sesuatu yang lumrah. Dilihat dari sejarahnya, Indonesia juga punya beberapa Presiden yang diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir.
Masyarakat Menjadi Pelanggar HAM?
Sementara itu, Dr. Suparman Marzuki mengungkapkan bahwasannya setelah 22 tahun Orde Baru berakhir kita masih memperbincangkan kebebasan akademik, mimbar akademik, dan kebebasan berbicara. Padahal kebebasan sudah sedemikian terjamin dan terbuka oleh undang-undang, namun membicarakan hal ini seolah-olah kita masih berada pada era Orde Baru.
“Seharusnya kita lebih bicara substansi apa yang ingin kita isi dalam rangka suasana kegembiraan (pasca Order Baru), suasana otokritik dalam diri masyarakat sipil untuk mengetengahkan sajian menu kebebasan akademik dalam ruang yang sedemikian baik”, tegasnya.
Suparman juga mempertanyakan apakah negara menjadi bagian langsung dari represifitas terhadap kebebasan ini, tapi melalui masyarakat sipil dengan melaporkan kriminalisasi, pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, intimidasi yang relatif menjadi modus baru.
Ia kembali menegaskan bahwa kebebasan akademik, kebebasan berpendapat dan lain-lain sesungguhnya merupakan esensi kemanusiaan. Jika manusia tidak memiliki hal-hal tersebut maka manusia tersebut hanya seseorang yang tidak memiliki nilai apapun. Itulah sebabnya hak-hak ini merupakan hak-hak yang fundamental, hak- hak yang mendasar bagi manusia.
Ia menilai negara dan aparat harus hadir untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat tentang penegakan HAM. Sebab masyarakat yang panik dan tidak percaya akan pemerintah cenderung merubah dirinya sadar atau tidak sadar menjadi kekuatan-kekuatan yang justru akan mengancam kehidupan bangsa itu sendiri. Sehingga kita kembali kepada kehidupan bangsa barbarian, siapa yang kuat maka ia yang akan tampil. (MRA/ESP)