Masa Depan Seni Kaligrafi di Era Digitalisasi
Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan bincang Seni Budaya Islam yang bertemakan, “Tantangan dan Masa Depan Seni Kaligrafi di Era Teknologi Digital”. Acara dihelat di Auditorium Prof. K.H. Abdul Kahar Mudzakir UII pada Senin (22/05) dan disiarkan langsung melalui kanal YouTube resmi UII. Acara digelar guna menyemarakkan milad ke-80 UII sekaligus mengisi kegiatan Lomba Kaligrafi Tingkat Nasional yang digelar di hari yang sama.
Tiga narasumber yang didapuk pada acara tersebut, di antaranya; Ustaz Didin Sirojuddin (pengasuh Pondok Quranic Calligraphy Sukabumi), Dr. Ir. Revianto Budi Santoso, M.Arch. (Ketua Program Studi Arsitektur Program Magister UII), dan Ustaz Robert Nasrullah (Perupa Internasional, Pengelola Pusat Studi Kaligrafi UIN Sunan Kalijaga).
Stefy Prasasti Anggraini, S.T., M.Arch. yang merupakan moderator pada bincang seni tersebut memberikan opini. Menurutnya pergerakan dunia kaligrafi cukup terpengaruh dengan adanya digitalisasi. Hal ini juga sangat terasa di bidang lainnya. Apalagi generasi anak muda sekarang, banyak mengonsumsi teknologi. Demikian juga, perkembangan zaman teknologi sekarang berkaitan dengan Artificial Intelligence (AI).
Dalam kesempatannya, Ustaz Didin menyampaikan bahwa kaligrafi itu diistilahkan dengan Islamic art. Jadi salah satu di antara seni-seni Islam, kaligrafi disebut art of Islamic art, yang artinya seninya seni Islam. “Itu berarti kaligrafi memiliki kedudukan yang lebih tinggi karena perintahnya datang langsung melalui Al-Qur’an,” ungkapnya.
Menurutnya, seni kaligrafi menyandang tiga atribut sekaligus. Pertama, kaligrafi merupakan ilmu yang mengandung tata cara, teori, ukuran serta benar tidaknya penulisan huruf. Kedua, kaligrafi bisa digunakan sebagai alat untuk memperindah. Terakhir, kaligrafi mengandung filsafat tersendiri.
Menanggapi terkait hubungan antara perkembangan teknologi dengan seni kaligrafi, ia menyatakan bahwa adanya teknologi sekarang justru membantu kinerja kaligrafer. “Pasalnya, zaman dahulu kaligrafer masjid itu harus mendesain secara manual apa yang akan mereka tulis, menghitung secara manual, tetapi sekarang bisa dicetak hanya dengan satu, dua kali cetakan mesin,” tegasnya.
Di sisi lain, Ustaz Robert berpendapat teknologi digital tidak menjadi ancaman yang berat, karena memang harus bisa menyesuaikan dengan melihat bagaimana perkembangan teknologi digital dalam membantu pembuatan kaligrafi yang lebih menarik.
“Hasil dari industri digital ini adalah sesuatu yg tidak bisa ditolak. Saya sangat mengapresiasi UII yang sudah sangat lama mengadaptasi datangnya teknologi, hasil-hasil arsiteknya juga luar biasa,” ungkapnya.
Ia beropini, ketika seseorang melihat kaligrafi secara komprehensif, akan membangun konsep kekinian. Konsep tersebut membentuk dua fungsi kaligrafi. Pertama yakni fungsi perdamaian dan kedua fungsi membangun jiwa manusia. Dari konsep inilah yang akan menghadirkan bentuk-bentuk baru dalam visual kaligrafi.
Terakhir, Dr. Revianto Budi Santoso menyampaikan dengan adanya teknologi, memang diperlukan strategi luar biasa, khususnya di bidang seni kaligrafi. Teknologi digital diturunkan dari pemikiran algoritmik yang dulu sudah dicanangkan oleh Al-Khawarizmi dari tradisi intelektual muslim.
“Kita tidak melihat kaligrafi sebagai objek, tapi sebagai situasi environment yang mana sangat terbantu dengan adanya teknologi ini,” tegasnya. Menurutnya, dengan adanya teknologi sekarang ini, yang menjadi tantangan besar adalah bagaimana kaligrafer bisa menciptakan kreasi yang sama sekali baru.
Dengan demikian, bisa diambil kesimpulan bahwa teknologi dinilai mampu mempermudah di bidang seni kaligrafi. Segala sesuatu yang dulu dibuat secara manual, sekarang bisa dengan teknologi yang cepat. (LMF/ESP)