Masa Depan dan Ruang Aman Untuk Kelompok Rentan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Pengesahan UU tersebut dinilai sebagai penghargaan atas kerja keras para aktivis yang telah berjuang untuk kesetaraan gender sejak tahun 80-an. Hal ini disampaikan oleh Dr. Annisa R. Beta, Dosen Cultural Studies School of Culture and Communication University of Melbourne, dalam NGALIR LIVE TALK bertema “Pengesahan RUU TPKS: Masa Depan Gerakan Muda dan Ruang Aman untuk Kelompok Rentan”.
Annisa menilai aktivis media sosial punya andil dalam mendorong pengesahan RUU tersebut. “Teman-teman yang aktif di dunia digital dan sosial media juga memiliki peran penting yang cenderung enteng namun menjadi salah satu jalan untuk mengganti narasi terkait dengan isu kekerasan seksual ini.” Ujarnya. Mereka juga piawai menerjemahkan poin-poin terkait isu kesetaraan gender melalui media sosial seperti Instagram dan Twitter yang populer di kalangan.
Selain pembahasannya memakan waktu yang cukup panjang, Annisa menilai bahwa UU ini tidak dapat diimplementasikan dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu, ia menegaskan pentingnya peran semua kalangan dalam upaya pemberdayaan perempuan.
“Untuk teman-teman yang memimpin organisasi mahasiswa, ruang aman bukan berarti ruang feminis tapi ruang untuk semua gender yang memiliki tingkat religiusitas serta cara pandang tertentu.” Ujarnya. Dalam konteks sosial, Annisa mendefinisikan ruang nyaman disini ialah suasana yang bisa memberikan rasa aman dan nyaman bagi perempuan untuk jalan kaki malam hari.
Dalam diskusi ini, hadir juga Dosen Program Studi Hubungan Internasional UII, Karina Utami Dewi, M.A, yang menegaskan bahwa kesetaraan gender juga berarti jaminan keamanan dalam berbagai bidang seperti ekonomi dan pendidikan. “Karena tidak mungkin anak-anak bisa bersekolah dan berkarir tanpa adanya keamanan.” Ujarnya.
Para pemangku kebijakan dan mahasiswa dituntut berperan meningkatkan pengetahuan tentang keadilan gender yang tidak hanya yang dapat dilakukan melalui kelas gender dan gerakan sosial. “Islam juga memiliki peranan penting dalam isu ini karena Islam sudah membahas kesetaraan jauh sebelum isu gender equality muncul.” Ucapnya.
Karina juga menegaskan bahwa semua pihak tidak boleh memandang UU ini sebagai hal yang ditakuti dan menjadi upaya untuk menangkap banyak orang. Namun, hadirnya UU ini merupakan upaya untuk memperbaiki budaya agar tidak terlalu banyak tindakan yang melecehkan perempuan lagi dan menciptakan interaksi yang lebih aman di masyarakat.
Di akhir materinya, Karina kembali menegaskan bahwa hukum bisa berubah dengan cepat namun kebiasaan dan kultur tidak bisa berubah secepat itu. Sehingga, semua pihak harus perlahan-lahan mengubah cara berpikir untuk mendukung UU ini. “Tidak semua orang berani berubah pada isu feminis, tapi kita harus yakin bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan tentang kesetaraan sehingga kita harus sama-sama mengawal pemberlakuan UU ini.” Tutupnya. (AP/ESP)