Mandiri, Rajin, dan Adaptif: Kunci Sukses Kuliah di Luar Negeri
Kuliah di luar negeri tidak seindah dan semudah yang dibayangkan. Banyak lika-liku tantangan yang harus dihadapi oleh para mahasiswa, baik yang menempuh studi sarjana, master maupun doktoral. Salah satu tantangan yang dihadapi para mahasiswa adalah tuntutan untuk menjadi seorang pribadi yang mandiri dalam belajar maupun memecahkan masalah yang harus dihadapi selama menempuh studi.
Hal ini disampaikan oleh Rusnardi Rahmat Putra, S.T., M.T., Ph.D.Eng, kepala Kantor Urusan Internasional (KUI) Universitas Negeri Padang dalam rangkaian acara talk show “Studi Ke Luar Negeri: Talk show alumni” yang terselenggara melalui kerja sama antara KUI Universitas Negeri Padang dan Universitas Islam Indonesia.
Talk show ini juga turut menghadirkan tiga orang dosen UII, yakni Dr.rer.nat. Dian Sari Utami, S.Psi., M.A, Direktur Direktorat Kemitraan/Kantor Urusan Internasional UII, Dr., apt. Asih Triastuti, S.F. M. Pharm, dosen Jurusan Farmasi beserta Imam Sahroni, S.Si., M.Sc., dosen Jurusan Ilmu Kimia.
Selain menjadi pribadi yang mandiri, Rusnardi menambahkan bahwa seorang mahasiswa harus mampu menjadi seorang pribadi yang rajin dan disiplin. Terlebih ketika ia kuliah di Jepang yang terkenal dengan budaya tepat waktu khususnya pada waktu operasional angkutan umum, seperti shuttle bus.
Menurut Rusnardi, menanamkan jiwa rajin sejak dini akan memberikan efek yang bagus bagi para mahasiswa seperti yang ia rasakan ketika diberikan kesempatan menjadi asisten profesor dalam membimbing mahasiswa master dan doktoral.
Sementara itu, Dian Sari Utami menambahkan kemampuan untuk belajar mandiri sangat berguna ketika ia dituntut untuk selalu siap menghadapi tugas presentasi yang datang tanpa diduga. Sehingga ia harus mampu memberikan argumen yang kuat dan meyakinkan. Apalagi selama masa studinya di Jerman, ada pilihan bagi mahasiswa doktor untuk memenuhi kredit semester melalui presentasi di konferensi ilmiah atau hadir di kelas mengikuti perkuliahan dalam bahasa Jerman dengan ujian lisan.
Sedangkan Asih Triastuti banyak menceritakan sulitnya hidup di tengah-tengah budaya Laicite Prancis yang kurang mengakomodir kewajiban muslimah untuk memakai jilbab. Namun seiring berjalannya waktu, ia sudah mulai mampu beradaptasi dengan lingkungan dan mulai mendapatkan respon yang baik dari teman-teman sejawatnya.
Ia menambahkan kunci utama adaptasinya dengan budaya baru adalah mampu menjalin relasi dan berkolaborasi dengan sesama mahasiswa doktoral di Prancis, baik yang berasal dari Indonesia maupun mancanegara. Hal ini mampu menambah relasi yang dimiliki Asih hingga ia beberapa kali berkesempatan mengundang sesama rekan mahasiswa doktoral dari Indonesia untuk menjadi guest lecture di kelasnya.
Terakhir, Imam Sahroni mengingatkan agar tidak terlena selama menempuh studi S2 di luar negeri dan membatasi masa senang-senang hanya 1 bulan saja. Menurutnya, setelah itu seorang mahasiswa harus berjuang untuk memahami materi yang disampaikan dan meraih nilai ujian sesuai dengan target yang ditetapkan oleh pihak universitas dan pemberi beasiswa.
“Banyak orang yang tidak bisa lulus karena nilai kkm yang tinggi dan mereka terjebak dengan momen untuk ‘bulan madu’ dan enjoy time di luar negeri.” ujar Imam. Ia juga mengingatkan untuk tidak terlena mengeksplorasi keindahan ala luar negeri.
Apalagi pada saat ini banyak mahasiswa yang berkuliah di luar negeri sering terlena dan lebih suka membuat vlog alih-alih belajar. “Kita harus menata niat dan mengatur jadwal dengan baik agar tidak enak-enakan terus di luar negeri.” Pungkasnya. (AP/ESP)