Maju Mundur Harga PCR di Indonesia
Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSH FH UII) menyelenggarakan diskusi “Maju Mundur Kebijakan Harga PCR” pada Sabtu (20/11). Diskusi ini diselenggarakan dalam rangka menjawab problematika harga tes PCR di Indonesia, dengan menghadirkan para pembicara di antaranya, dr. Fery Rahman, M.KM. (Wasekjen PB IDI), Bayu Satria Wiratama, Ph.D. (Koordinator Tim Medis Kawal Covid-19), Dr. Siti Anisah, S.H., M.H. (Dosen Fakultas Hukum UII), dan Dr. Fadhil Hasan (Ekonom Senior Institutes for Development of Economics and Finance).
Fery mengatakan sejak awal pandemi, pemeriksaan tes covid-19 mengalami perkembangan dari tes antibodi, tes PCR, tes genose, hingga tes antigen. Dari pemeriksaan tes covid-19 tersebut, tes PCR dianggap sebagai tes yang paling efektif sebagai screening awal. Menurutnya kemunculan tes PCR yang didukung dengan penetapan 742 laboratorium oleh pemerintah ini, cukup membantu pemerintah dan masyarakat dalam melakukan tracing covid-19.
Tes ini pun juga telah terhubung dengan aplikasi peduli lindungi yang datanya tidak akan bisa dimanipulasi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Dalam pemeriksaannya, tes PCR dilakukan dengan standar laboratorium yang ketat. Jika diperinci, komponen harga PCR mencakup jasa pelayanan, bahan habis pakai, reagan, biaya administrasi, dan komponen lainnya.
Tinggi rendahnya harga PCR ini, salah satunya disebabkan oleh banyak sedikitnya orang yang menggunakan tes ini. “Kalau banyak, maka pemutaran alat pemeriksaan nya juga bisa langsung didapat. Tapi kalau cuman satu, dua, tiga masih diicrit-icrit, ya maka butuh biaya mahal, karena sedikitlah. Ketika kita memenuhi kebutuhan untuk tiga empat orang, tentu biayanya beda untuk memenuhi guyub atau keramaian,” ujarnya.
Ia berpendapat, jika pemerintah ingin benar-benar meringankan biaya tersebut, akan lebih baik jika digratiskan saja biaya tes PCR ini. “Sebenarnya tes PCR ini tidak diharapkan mempengaruhi kualitas. Ketika ini dipaksakan, banyak yang lima komponen tadi dipangkas-pangkas, dan ini tentu menjadi beban. Harapan kami kalau nggak pemerintah menggratiskan saja harga PCR,” katanya.
Selanjutnya, Bayu berpendapat bahwa sebaiknya tes PCR dilakukan dengan indikasi tertentu, sehingga tidak semua lantas wajib menggunakan tes PCR. Contohnya sebagai syarat perjalanan, perjalanan internasional yang bisa dilakukan sebelum keberangkatan. Adapun, dalam perjalanan domestik, yang sebaiknya diberlakukan adalah tes antigen. Hal ini dengan mempertimbangkan jangka waktu tes PCR yang cukup lama yakni selama tiga hari.
Hal ini menurutnya ada kemungkinan untuk dalam waktu tiga hari tersebut kemungkinan untuk tertular. Sehingga menurutnya, akan lebih baik untuk dilaksanakan tes antigen yang jangka waktunya lumayan cepat yakni 1×24 jam. Selain itu, tes PCR yang relatif mahal ini juga tetap diberlakukan tanpa memperhatikan status vaksinasi. Menurutnya, hal ini perlu diperhatikan, jika nantinya masyarakat sudah banyak yang divaksin, maka dapat dimungkinkan tes PCR ini dapat ditiadakan.
Menurutnya lebih penting meningkatkan kesadaran masyarakat untuk lebih safety dalam melakukan kegiatannya, terutama dalam hal transportasi. Selain itu, menurutnya PCR merupakan pemeriksaan diagnosis, sehingga sebaiknya difokuskan untuk diagnosis kasus covid-19 saja bukan skrining. Sedangkan skrining cukup dengan antigen, dengan pertimbangan jangka waktu yang lebih cepat dan murah untuk masyarakat yang akan melaksanakan kegiatan transportasi.
Sependapat dengan Bayu, Siti Anisah menyampaikan terkait pengadaan PCR, ada sekitar 10 perusahaan yang mengelolanya. Hal ini apabila dilihat dari aspek persaingan usaha, menurutnya termasuk dalam bentuk oligopoly. Sebab kebutuhan terhadap PCR merupakan merupakan jumlah yang besar yakni seluruh masyarakat di Indonesia. Namun hanya ada 10 perusahaan yang mengelola kebutuhan ini. Maka, hal ini menurutnya perlu menjadi perhatian.
“Ini perlu kita telisik, dan dalam hal ini pemerintah bisa mem-publish secara detail siapa saja pengusaha-pengusaha yang bergerak di bidang industri ini. Hal ini tentu akan lebih menjamin tata kelola, yang juga disoroti oleh Pak Bayu tadi,” ujarnya.
UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat belum dapat menjamin akan mencegah terjadinya persaingan usaha tidak sehat dalam bisnis PCR. Ketentuan dalam Pasal 50 huruf a dan 51 UU ini, memang bisa dijadikan dasar hukum untuk mengatur kebijakan perusahaan PCR ini. Namun, bukan tidak mungkin, persaingan usaha tidak sehat tetap terjadi dan tidak masuk kualifikasi dalam pasal-pasal ini.
Untuk mengantisipasi hal ini, maka ia mengatakan bahwa pemerintah bisa menggunakan pasal-pasal kartel yang berkaitan dengan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 50 dan 51 tersebut, untuk menindak pelanggaran yang terjadi di industri PCR ini. (EDN/ESP)