Mahar: Kewajiban Pertama Suami

Kajian pranikah ketiga digelar oleh Lembaga Dakwah Universitas Islam Indonesia (LDK Kodisia UII) yang didukung oleh Direktorat Pendidikan dan Pembinaan Agama Islam UII. Ustadz Rosyid Abu Rosyidah, M.Ag., alumni STDI Imam Syafi’i Jember dan Dewan Konsultasi bimbinganislam.com (BIAS) melanjutkan pembahasannya mengenai pra nikah bab mahar pada Sabtu (22/8) secara daring.

Ustadz Rosyid menyatakan istilah mahar dalam Arab adalah alshidaq, yakni pemberian dari mempelai pria kepada mempelai wanita sebagai bukti kejujuran ia ingin menikahinya serta bukti perlakuan baiknya kepada calon istri. Oleh karena itu, menurut bahasa artinya adalah jujur.

Menurut Ustadz Rosyid, perbedaan adat melahirkan kesalahpahaman di masyarakat, maka pembahasan ini penting dipahami setiap orang. “Mahar menjadi salah satu kewajiban pertama suami kepada istri, bukan hadiah atau seserahan,” sebutnya.

Dalil mengenai mahar telah diatur dalam firman Allah, Q.S An-Nisa ayat 4 yang artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

Selain itu, sebut Ustadz Rosyid, mahar juga telah di atur di Q.S An-Nisa ayat 24 dan hadits-hadits. Salah satunya hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dari Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi ra, Rasullullah bersabda: “Carilah sesuatu (mahar) cincin sekalipun terbuat dari besi. Jika tidak mendapati, mahar berupa surat-surat al-Qur’an yang engkau hafal.” (HR Bukhari No.1587)

Lebih jauh, Ustadz Rosyid dalam kajiannya menyatakan bahwa hikmah pemberian mahar adalah untuk menghormati wanita sehingga ia dapat mempersiapkan dirinya, mahar menunjukkan pemberian suami kepada istri baik nafkah duniawi maupun akhirat.

“Nafkah untuk akhirat itu seperti pendidikan, pengayoman, ilmu agama. Jadi ibadah utama suami adalah mahar, sedangkan ibadah utama istri adalah kesabaran. Sabar menerima seberapapun pemberian suami, saba rmelayani suami,” ucap Ustadz Rosyid.

Yang jadi pertanyaan, apa saja bentuk-bentuk mahar? Ustadz Rosyid menyampaikan terdapat tiga bentuk mahar, di antaranya adalah mahar berbentuk materi, mahar yang dapat diambil manfaatnya, dan mahar yang kebermanfaatannya kembali kepada istri.

Lebih lanjut, Ustadz Rosyid menjelaskan ketiga bentuk mahar tersebut. Mahar materi dapat berupa kendaraan, perhiasan, rumah, uang, dan sebagainya. Mahar yang dapat diambil manfaatnya berupa jasa seperti kisah Nabi Musa yang menikahi istrinya dengan mahar bekerja selama delapan tahun bersama sang mertua. Sedangkan mahar yang manfaatnya kembali kepada istri dapat berupa pembebasan dari perbudakan, keislaman istri, maupun mengajarkan Al-Qur’an.

Dalam Islam kata Ustadz Rosyid, seorang wanita dibebaskan menentukan apa bentuk dan berapa besar mahar yang diinginkannya. Namun, Islam menyarankan agar ia meringankan atau mempermudah mahar tersebut, sebab banyak laki-laki yang gagal menikahi wanita pilihannya sebab beratnya mahar yang ditentukan.

Hadits Rasulullah Saw dari Aisyah, “dari Aisyah bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya perkawinan yang besar barakahnya adalah yang paling mudah maharnya” dan sabdanya pula “Perempuan yang baik hati adalah yang murah maharnya, memudahkan dalam urusan perkawinannya serta baik akhlaknya, sedangkan perempuan yang celaka yaitu yang mahal maharnya, sulit perkawinannya dan buruk akhlaknya.” (HR. Imam Ahmad)

Ustadz Rosyid menjelaskan jika mahar pernikahan dibuat susah dan ribet, maka dapat membuat laki-laki yang akan menikahinya tidak sanggup sehingga membatalkan pernikahan tersebut. Pembatalan pernikahan akan mengancam ego dari calon mempelai wanita. Selain itu, jika laki-laki tersebut mengiyakan dengan mahar yang tinggi, maka dapat membuat ia ketika menjadi suaminya tidak ridho terhadapnya.

“Maksudnya jika waktu berkeluarga sang suami membutuhkan dana banyak untuk dana usaha maka ia dapat mengingat-ingat hal dulu waktu mahar yang tinggi. Andai dulu maharnya tidak terlalu tinggi, bisa aku belikan bahan-bahan untuk usaha,” contoh Ustadz Rosyid.

Merangkum dari berbagai sumber, Allah Swt melarang suami menarik kembali mahar yang telah mereka berikan kepada istri. Bahkan pebuatan tersebut merupakan salah satu kedzaliman. Hal ini sesuia firman-Nya di QS. An-Nisa ayat 20 dan 21. Berdasarkan penjelasan Zadul Masir, 1:386, tafsir ayat tersebut menyebut bahwa perbuatan mengambil kembali mahar yang sudah diberikan termasuk dalam perbuatan dosa, sebagai tindakan buhtan (tuduhan dusta). Sebagian ahli tafsir menjelaskan, makna buhtan adalah kedzaliman. Meski demikian, Tindakan tersebut salah apabila suami mengambil atau menjual mahar tanpa sepengetahuan istri.

Ustadz Rosyid berpesan jika seorang laki-laki yang hendak menikahi pilihannya tapi ia merasa tidak sanggup akan mahar yang diinginkan, maka sebaiknya ia jujur dan menyampaikan bahwa dirinya tidak dapat menyanggupi.

Di akhir kajiannya, Ustadz Rosyid menyebut terdapat dua macam mahar dari sisi penyebutan, yakni mahar yang disebutkan dan dijelaskan dengan detail ketika akad nikah serta mahar yang tidak disebutkan dalam akad nikah. “Karena yang wajib dalam mahar adalah penyerahannya sedangkan sebutannya tidak wajib. Tidak disebutkan mahar bukan berarti tidak diberikan maharnya sebab ini tetap kewajiban pertama suami. Lebih baiknya disampaikan ketika akad,” tutupnya. (SF/RS)