,

Limbah Kulit Kakao Dimanfaatkan Sebagai Nano Spray Inhaler

Pengobatan herbal dengan metode nano belum banyak dilirik di Indonesia. Padahal, penggunaan bahan herbal sangat potensial di Indonesia. Selain bahan bakunya melimpah, bahan herbal cenderung lebih aman digunakan oleh manusia serta ramah lingkungan. Hal inilah yang mendorong sekelompok mahasiswa UII untuk meneliti potensi limbah kulit kakao sebagai bahan obat herbal bagi penyakit bronkitis.

Dari limbah tersebut, mereka berhasil menciptakan Nano Shark Kao (Nano Spray Inhaler dari limbah kulit kakao). Oleh tim tersebut, limbah kulit kakao dimodifikasi dengan menggunakan metode SNEEDS sehingga menjadi salah satu obat herbal untuk mengobati penyakit bronkitis kronik. Cara pemakaian obatnya pun sangatlah mudah dan efisien yaitu dengan cara dihirup.

Disampaikan Ratih Lestari, mahasiswa Kimia UII angkatan 2015, temuan tersebut melibatkan Aditya Sewanggara Kimia angkatan 2015 dan Kartika Puspitasari dari Farmasi angkatan 2016. “Kami berangkat dari keprihatinan tentang tingginya kematian akibat penyakit pernapasan di berbagai belahan dunia terutama Indonesia dan permasalahan lingkungan yakni masih belum optimalnya pemanfaatan limbah kulit kakao”, terang Ratih.

Ditambahkan Aditya Sewanggara, inovasi dalam pembuatan nano herbal dari limbah kulit kakao ini berupa kombinasi dari metode SNEEDS dengan metode spray inhaler. Adanya pembuatan nano herbal dari limbah tersebut diharapkan dapat menurunkan risiko kematian penderita bronkitis akibat rokok di Indonesia.

“Keunggulan dari Nano Shark Kao ini selain ramah lingkungan dibandingkan yang lainnya dan renewable karena bahannya berasal dari dalam negeri sehingga lebih murah, serta proses pembuatannya tidak terlalu rumit”, ujarnya. Diharapkan dengan adanya Nano Shark Kao, angka kematian akibat rokok dapat ditekan serta menjadi salah satu solusi terhadap permasalahan lingkungan yang disebabkan oleh limbah kulit kakao.

Proses pembuatannya sendiri diawali dengan mengeringkan limbah kulit kakao dengan menggunakan oven selama kurang lebih 2×24 jam. Selanjutnya limbah itu direbus menggunakan etanol teknis selama kurang lebih 1×24 jam. “Kemudian dicampurkan dengan tween dan capryol yang berfungsi sebagai surfaktan dan co-surfaktan yang dapat mempermudah pencampuran antara ekstrak kulit kakao dengan pelarut Polietilen glikol”, jelasnya.

PEG sendiri digunakan agar dapat meningkatkan distribusi (penyebaran) obat di dalam tubuh manusia yang kemudian semua bahan tersebut dicampur/dihomogenkan dengan ultra sonikasi. Kemudian didapatkan nano herbal dari kulit kakao berupa nano spray yang dapat menjadi obat herbal bagi penyakit bronkitis kronik dengan cara pemakaian secara inhaler.

Meski saat ini penelitian tersebut masih dalam tahap uji in vitro dan in vivo, namun inovasi Nano Shark Kao memiliki masa depan yang menjanjikan karena kualitas yang lebih baik dan stabil, serta siap untuk dipasarkan. Pembuatan Nano Shark Kao sendiri tidak lepas dari partisipasi mereka dalam program PKM yang didanai oleh DIKTI dan atas bimbingan dari dosen Farmasi UII, Dr. Yandi Syukri, S.Si., M.Si., Apt.