Korupsi Politik di Indonesia Sudah Kronis
Salah satu masalah besar bangsa Indonesia adalah korupsi yang kian merajalela. Korupsi beserta turunannya seperti suap, kolusi, merupakan faktor penghalang pembangunan ekonomi, sosial, politik dan budaya bangsa. Selain itu, penyalahgunaan wewenang instansi pemerintahan untuk kepentingan pribadi juga masih menjadi praktek yang marak di kalangan birokrat.
Penjelasan tersebut merupakan pengantar dalam diskusi umum dengan tema “Memperkaya Diri Secara Tidak Sah (Illicit Enrichment) dan Memperdagangkan Pengaruh (Trading Influence) pada Kamis (04/07) di ruang sidang utama lt.3 FH UII. Pembicara yang hadir adalah Dr. Artidjo Alkostar, S.H., LLM. yang merupakan Hakim Agung Mahkamah Agung Periode 2000-2018 dan Ketua Kamar Pidana MA RI 2007-2018.
Artidjo menyampaikan bahwa sejak tahun 2002 dengan diberlakukannya Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) mengklarifikasikan tindakan korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Dalam kejahatan HAM (Hak Asasi Manusia) yang dikualifikasikan sebagai extra ordinary crime menjadi tanggung jawab negara untuk mengadilinya karena masuk dalam domain musuh seluruh umat manusia.
“Perbuatan memperdagangkan pengaruh atau trading influence dan memperkaya diri secara tidak sah merupakan bagian dari perbuatan korupsi. Dalam presfektif ontologis, perbuatan yang bersifat korup tidak dikehendaki oleh masyarakat, dan dilihat secara aksiologis, hal itu juga tidak cocok dengan nilai kesusialaan atau kepatutan yang berlaku dalam bangsa beradab. Ini merupakan manifestasi dari keserakahan yang asosial dan menularkan perilaku koruptif multi efek”, terangnya.
Sedangkan dalam pasal 18 Konvensi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) Anti Korupsi tersebut melarang adanya pejabat publik yang memperdagangkan pengaruh. Perbuatan melakukan hubungan transaksional yang tidak patut dengan mengakibatkan kerugian publik, masyarakat, rakyat, atau negara juga dilarang.
Artidjo mengatakan, “Dari pasal 18 konvensi PBB tersebut, terlihat adanya dua pihak yang melakukan hubungan transaksional yang tidak sah dan tidak patut”, ujar beliau.
Menurutnya, transaksi jual-beli pengaruh selalu melibatkan kekuasaan politik dan kekuatan ekonomi. “Yang mampu membeli pengaruh orang yang berkuasa atau yang memiliki akses untuk mempengaruhi pejabat tersebut. Perlu digarisbawahi, fenomena kekuatan ekonomi dan pemerintah akan menjadi State Capture (kebijakan pemerintah dipengaruhi secara destruktif) yang meruntuhkan demokrasi ekonomi dan menjauhkan dari keadilan sosial sebagai salah satu sila dalam Pancasila”, tegasnya.
Banyaknya penyelenggaraan negara dan pegawai negeri saat ini yang terlibat dalam korupsi poltik, memperdagangkan pengaruh, dan memperkaya diri secara tidak sah, mengakibatkan Indonesia krisis keteladanan dalam upaya pemberantasan korupsi. (MRA/ESP)