Kontroversi Tes PCR: Bisnis atau Krisis
Tes PCR (Polymerase Chain Reaction) sebagai syarat wajib perjalanan hingga saat ini masih menjadi perbincangan hangat. Perubahan biaya tes sendiri juga telah memunculkan presepsi yang beragam di masyarakat, seperti anggapan adanya yang memanfaatkannya. Tes PCR sejatinya diberlakukan sebagai upaya menjaga masyarakat Indonesia dari penularan virus Covid-19.
Menanggapi hal tersebut, Majelis Guru Besar Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan webinar bertajuk Penanganan Pandemi Covid-19: Kontroversi Tes PCR – Bisnis atau Krisis pada Kamis (18/11). Pidato kunci disampaikan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U. dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia, Erick Thohir, B.A., M.B.A.
Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. dalam sambutannya menuturkan bahwa di masa pandemi ini waktu menjadi barang mewah, karena semua keputusan harus diambil dengan waktu yang cepat. Di samping itu, proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan publik bersama tidak selalu dapat terlihat jelas dan transparan. Hal ini yang kemudian membuat publik dengan hak konstitusionalnya terus mempertanyakan banyak hal, termasuk terkait tes PCR. “Apakah benar harga tes PCR semahal itu,” tandasnya.
Di tengah situasi ini, muncul kabar dugaan terkait pejabat pemerintah memiliki hubungan dengan perusahaan yang berbisnis PCR. Menyikapi hal tersebut, publik terbelah. Ada pihak yang percaya dan ada pihak yang tidak percaya. Apakah benar ada motivasi bisnis di balik penanganan pandemi ini. Prof. Fathul Wahid berharap dengan adanya webinar ini, semua pertanyaan publik terkait dugaan tersebut dapat terjawab dengan jelas, sehingga publik dapat menemukan kebenaran.
Menanggapi hal tersebut, Prof. Mahfud mengemukakan bahwa dari awal pandemi Covid-19 mulai masuk ke Indonesia, ketika semua elemen penduduk masih dalam kepanikan, bahkan banyak pihak saling bertentangan, ada pihak yang percaya dan tidak percaya dengan virus Covid-19 ini. Di masa itu, pemerintah telah melakukan tindakan-tindakan antisipasi, di antaranya yaitu mengeluarkan Keputusan Presiden No. 20 Tahun 2020 yang menetapkan bahwa Covid-19 merupakan bencana non alam. “Keppres (Keputusan Presiden) ini diterbitkan tanggal 31 Maret 2020, dan itu belum terlambat,” ujarnya.
Setelah itu, lanjut Prof. Mahfud, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2020 yang berisi tentang penaikkan anggaran penanganan Covid-19. Hal ini menurut Prof. Mahfud, dikarenakan sebelumnya dalam UU telah diatur bahwa pemerintah akan melanggar hukum jika defisit anggaran melebihi dari 3%. Sedangkan, di masa pandemi ini, diprediksi defisit anggaran tidak hanya akan turun menjadi 3% bahkan dimungkinkan lebih dari itu.
“Kenapa harus mengeluarkan Perpu (Peraturan Pemerintah), karena kalau menunggu persetujuan DPR waktunya akan lama. Karena ada naskah akademik, pembahasan tingkat I dan II yang membutuhkan waktu berhari-hari. Namun, pada saat itu timbul portes karena ada pasal yang ketentuannya orang tidak akan dituntut dengan itikad baik. Padahal ketentuan tersebut sudah ada dalam Pasal 50 KUHP, UU Advokat, dll,” paparnya.
Tindakan antisipasi berikutnya, pemerintah membuat kebijakan dengan PCR. Pemerintah membentuk Komite Penanggulangan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Prof. Mahfud mengatakan pada masa awal pandemi, selama tiga bulan tersebut ekonomi Indonesia ambruk. Ada krisis kepanikan yang luar biasa, berupaya mendapatkan masker guna memenuhi kebutuhan masyarakat dan para tenaga kesehatan. Pemerintah juga memerintahkan semua kampus untuk membuat obat penanggulangan Covid-19.
Di sisi lain, turut tumbuh juga industri masker dengan kain, masker batik, dan tumbuh juga perusahaan yang menjual obat penanggulangan Covid-19 yang kemudian digunakan untuk penanganan pasien Covid-19. Menggapi hal ini, menurut Prof. Mahfud agar melihat hukum pada saatvdikeluarkan, mengukur hukum tidak pada saat sekarang. “Siapapun yang mengkritik harus siap dikritik balik. Harus siap juga menerima data pembanding dari pemerintah,” tandas Prof. Mahfud.
Selanjutnya, Erick Tohir menyampaikan bahwa sejak pandemi merebak di Indonesia, pemerintah telah berupaya semaksimal mungkin melayani masyarakat. “Kita harus menganut recovery dan responsibility. Melakukan semua kegiatan tersebut dengan tanggungjawab, baik secara administrasi, hukum, dan jauh kepentingan pribadi,” ujarnya.
Pandemi adalah ujian dan pembelajaran agar bangsa ini menjadi lebih kuat dan mendiri. Pemerintah dan mayarakat harus bisa bersatu padu dan saling bergotong-royong. Erick Tohir mengemukakan, upaya Indonesia dalam menanggulangi pandemi ini telah diakui oleh dunia internasional. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) didorong dengan kesadaran kemanusiaan telat turut berkontribusi dalam penangananan pandemi yang sebenarnya bukan tugas pokok dan fungsi dari BUMN itu sendiri.
Erick Tohir mengaku dirinya mewakili BUMN juga ditugaskan bersama dengan Menteri Luar Negeri untuk mencari vaksin hingga ke Negeri Cina dan Inggris, kemudian mendistribusikannya ke wilayah provinsi-provinsi di Indonesia. Selain itu, pemerintah juga membangun rumah sakit – rumah sakit penanggulangan Covid-19, hingga menetapkan kebijakan PSBB, PPKM, dan laboratorium-laboratorium PCR. “Kami ditekankan oleh Bapak Presiden untuk jangan lelah melayani rakyat,” ujarnya.
Erick Tohir menyebutkan, di tanggal 23 Maret 2020 pemerintah melakukan peresmian Rumah Sakit Wisma Atlet. 27 Maret 2020 pemerintah menyediakan 73 rumah sakit di 18 provinsi dan 50% rumah sakit disediakan untuk pasien Covid-19. 12 Juni 2020 pemerintah memperkenalkan aplikasi peduli lindungi, dan 17 Desember 2020 pemerintah mendatangkan vaksin, yang pada saat itu menurutnya dikonotasikan sebagai hal yang negatif oleh masyarakat. Namun, saat ini menjadi hal yang diperebutkan, salah satunya ada vaksin Sinovac.
Tak hanya itu, Erick mengatakan pemerintah juga melakukan percepatan pendistribusian obat-obatan untuk pasien Covid-19 yang menjalani perawatan mandiri dan perawatan terpadu. Pemerintah juga menyediakan 18 laboratorium PCR, yang mana tes PCR tersebut merupakan bagian dari tracing Covid-19, yang harganya pun telah sesuai dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan di Indonesia harganya termasuk paling murah bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
Lebih lanjut Erick Tohir menuturkan adanya kebijakan tes PCR bagi pengguna transportasi, merupakan hasil rapat terbatas yang dihadiri oleh Presiden, Wakil Presiden, Menteri Kesehatan, dan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, yang juga merumuskan kebijakan terkait PPKM Darurat Jawa-Bali. Dan ini sudah sangat transparan.
“Saya tidak mungkin mengatur jalannya rapat terbatas agar mendapat kebijakan yang menguntungkan pribadi saya. Kita benar-benar melakukan prinsip gotong-royong dengan semua pihak, agar dapat menangani pandemi dengan operasional yang baik,” tutur Erick Tohir. (EDN/RS)