Kontrol Antarlembaga Negara Pascareformasi Dinilai Masih Timpang
Departemen Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) menghadirkan Kuliah Umum bertajuk “Evaluasi Lembaga-Lembaga Negara Pasca Reformasi”. Kegiatan ini diselenggarakan pada Jumat (10/03) di Ruang Auditorium Lantai 4 Fakultas Hukum UII. Adapun pembicara utamanya adalah Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., M.P.A. yang dikenal sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI).
Dalam sambutannya, Ketua Departemen HTN FH UII, Dr. Jamaludin Ghafur, S.H., M.H. mengatakan bahwa salah satu cara untuk mengubah tatanan lembaga-lembaga negara yang selaras dengan nilai demokrasi adalah dengan cara membongkar atau mengamandemen konstitusi. Sehingga konstitusi itu dianggap sebagai suatu keniscayaan bagi negara yang mengalami transisi ke demokratisasi.
“Oleh karenanya, kita saat ini sudah lebih dari dua dekade menjalani era reformasi ini, dan pertanyaan pentingnya adalah apakah performa lembaga negara sudah mensupport terhadap pengembangan nilai-nilai demokrasi di Indonesia atau justru sebaliknya,” ungkap Dr. Jamaludin Ghafur.
Ia juga menegaskan bahwa pernyataan yang fenomenal di kalangan masyarakat, yakni ‘Reformasi Telah Dikorupsi’ menjadi penting untuk dievaluasi karena tidak semua kebijakan yang dilakukan oleh lembaga negara mampu memperkuat tatanan demokrasi Indonesia.
Sementara itu, Prof. Saldi Isra menilai lembaga-lembaga negara merupakan komponen penting untuk mempelajari hukum tata negara. Semua pengertian hukum tata negara menurut para ahli terdahulu maupun modern mempunyai kesamaan dalam menyimpulkan poin pentingnya, yakni hukum yang mengatur bagaimana hubungan antar lembaga negara.
Menurutnya, jika mempelajari perbandingan hukum tata negara, maka hal utama yang harus dipelajari adalah apa yang dibicarakan oleh konstitusi tentang negaranya. Substansi konstitusi itu harus menjelaskan setidaknya organ-organ negara apa saja yang berada di dalamnya. Jadi, institusi, organisasi, dan lembaga apapun secara minimal harus ada dalam suatu konstitusi.
Dalam pemaparannya, ia mengutip salah satu pernyataan dalam buku Comparative Constitutional Engineering yang ditulis oleh Giovanni Sartori bahwa terdapat dua cara untuk melihat sebuah negara yang bersistem bikameralnya soft atau strong.
Pertama yakni kewenangan upper house relatif seimbang atau tidak. Jadi, tidak bisa jika kewenangannya sama persis dan setidaknya harus ada perbedaan tipis. Jika kewenangannya relatif berimbang, maka dikategorikan sebagai strong bicameralism. Kedua, cara pengisiannya dilakukan dengan cara yang relatif sama sulitnya dengan pengisian lower house.
“Jika dilihat dari dua kategori ini, Indonesia bisa dianggap sebagai strong bicameralism dari cara pengisiannya, karena menjadi anggota DPD itu jauh lebih sulit dibandingkan anggota DPR. Akan tetapi, jika dilihat dari segi kewenangan, kita termasuk ke dalam soft bicameralism,” ungkapnya.
Hakim MK RI itu juga mengatakan bahwa salah satu tujuan negara-negara yang dibuat dengan sistem bikameral itu adalah agar di antara kamar itu bisa saling mengecek dan saling mengontrol (legislatif).
Ia pun berpendapat pascareformasi, fungsi check and balance antara lembaga negara itu kemudian tidak optimal seperti apa yang diinginkan oleh para pengubah undang-undang dasar. Ketika mendesain lembaga negara dimaksudkan agar fungsi kontrol di antara lembaga negara berjalan efektif.
“Akan tetapi, fungsi itu kemudian sampai hari ini semakin kelihatan tidak efektif. Ada lembaga yang makin dominan dan ada lembaga yang makin kelihatan melemah perannya dalam penyelenggaraan negara. Hal ini tentu menjadi sesuatu yang harus diperhatikan dan diperjuangkan bersama agar lembaga negara itu bisa menjalankan fungsi kontrol masing-masing,” ujarnya.
Terakhir, ia juga menyampaikan bahwa evaluasinya terhadap lembaga-lembaga negara pascareformasi itu diibaratkan seperti gravitasi. Alasan mengapa planet-planet tidak berbenturan di jagat raya karena dijaga oleh gravitasinya masing-masing. Jika itu terganggu, maka bisa berbenturan dengan yang lainnya. Hal ini menyebabkan fungsi penjaga keseimbangan tidak akan bisa berjalan dengan baik. (A/ESP)