Kompas Etika

Alhamdulillah, hari ini kita kembali menjadi saksi, salah satu kolega kita mendapatkan jabatan baru sebagai profesor. Ini adalah surat keputusan pengangkatan ke jabatan akademik profesor kelima yang diterima oleh Universitas Islam Indonesia (UII) sejak awal 2024. Satu di antaranya kami terima dari Kementerian Agama.

Selamat kepada Prof. Anas Hidayat atas amanah baru ini. Selamat juga kepada keluarga Prof Anas, Program Studi dan Jurusan Manajemen, dan juga Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII. Jabatan ini bukan hanya capaian personal, tetapi juga institusional, yang harus disyukuri.

Setiap amanah dipastikan ada tanggung jawab yang melekat padanya. Amanah profesor, sebagai jabatan akademik tertinggi, sudah sewajarnya menuntut peningkatan kualitas kerja, karya, dan sensitivitas akademik terbaik. Ini juga merupakan salah satu cara mensyukuri jabatan ini.

Saya tahu, tentu menyajikan semuanya tidak selalu mudah. Tetapi justru di sanalah konsistensi menjaga integritas akademik diuji.

 

Integritas akademik

Izinkan di kesempatan yang berbahagia ini, saya mengajak untuk sejenak melakukan refleksi terkait dengan integritas akademik. Mendiskusikan isu ini juga bagian mengasah kompas etika kita.

Sebagai halnya pisau, jika teronggok lama di tempat yang kotor, maka akan berkarat, tumpul, dan tidak lagi tajam. Begitu juga kompas etika, ketika saat ini kita hidup di lingkungan yang sering terjebak dalam membenarkan yang biasa meskipun ada pelanggaran etika di sana.

Kita bisa berikan beberapa ilustrasi sebagai pembuka. Pertama, beberapa waktu lalu, media dihebohkan dengan berita produktivitas seorang dosen yang sanggup menghasilkan 160 publikasi hanya dalam beberapa bulan sejak Januari 2024. Capaian tersebut sangat yang tidak wajar, apalagi ditambah dengan isu pencatutan nama dosen lain dari kampus energi jiran tanpa sepengetahuan. Dosen ini pun sudah diberhentikan oleh kampusnya dari jabatan dekan.

Kedua, pada sebuah grup WhatsApp yang saya ikuti, ada sebuah iklan jurnal nasional. Yang membuat saya mengernyitkan dahi adalah narasi yang dibawa. Publikasi yang berbayar semata dimaksudkan sebagai bagian pemenuhan laporan kinerja dosen, yang menjadi syarat perpanjangan tunjangan sertifikasi dosen. Selain itu, iklan tersebut memberikan kalkulasi bahwa biaya yang dikeluarkan masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan akumulasi tunjangan sertifikasi dosen selama setahun.

Ketiga, dalam beberapa waktu terakhir, berlalu lalang di lini masa media sosial saya beragam iklan tentang menulis, baik buku maupun artikel jurnal. Yang ditawarkan adalah penggunaan kecerdasan buatan dalam menulis. “Satu hari satu artikel Scopus”, bunyi salah satu iklan. “Menulis buku dengan mudah menggunakan kecerdasan buatan”, bunyi iklan lainnya.

 

Kalibrasi kompas

Bagaimana kita kompas etika kita ketika melihat kenyataan ini? Mari kita lakukan kalibrasi: apakah jarum kompas kita masih sensitif menunjukkan mana arah yang etis dan mana yang tidak?

Apa yang menyamakan ketiga ilustrasi tersebut? Karya akademik seakan tidak lagi dikaitkan dengan pengembangan keilmuan, tetapi sebagai pelengkap tanggung jawab administrasi. Jebakan logika seperti ini saat ini sangat jamak kita temui, ketika kuantitas menjadi raja, karena dipercaya mempengaruhi banyak hal, termasuk pemenuhan kewajiban, akreditasi, dan pemeringkatan.

Kita tidak boleh naif dalam melihat ini. Ini adalah fakta sosial pahit yang kita temukan di lapangan. Sialnya, kita tidak bisa dengan mudah lari dari jebakan tersebut, karena selain dianggap sebagai kelaziman, juga diamplifikasi dengan beragam kebijakan dan petuah di beragam forum.

Karenanya jika tidak dicapai dengan intensi yang benar dan integritas tinggi, pemenuhan kewajiban, akreditasi, dan pemeringkatan akan kehilangan makna. Kualitas menjadi terabaikan. Lebih parah lagi, jika proses tersebut melibatkan pelanggaran etika.

Sialnya, mendiskusikan hal ini dengan mereka yang kompas etikanya sudah bermasalah, hanya akan menjadi debat kusir yang tak berkesudahan.

 

Dampak pahit

Kompas etika seorang profesor sudah seharusnya lebih sensitif, dan siap menjadi penjuru atau contoh. Tentu, ini bukan berarti, yang belum mendapatkan amanah profesor bisa main hantam kromo dengan mengabaikan integritas akademik.

Dampak pahit dari pengabaian integritas akademik dapat sangat akut. Mulai dari maraknya pelacuran akademik sampai dengan budaya baru pelecehan ilmu dan ilmuwan. Dan, yang paling menakutkan saya adalah ketika semua itu dianggap wajar.

Tantangan saat ini semakin berat, ketika tekanan produktivitas tidak bisa direspons dengan bijak dan ketika iming-iming penghargaan prestasi disalahpahami. Godaan untuk melewati garis merah pun kadang sulit ditampik dan jalan pintas yang menggadaikan integritas menjadi pilihan. Termasuk di dalamnya adalah dengan menyewa penulis hantu (ghost writer) atau menjadi penumpang gelap (free rider). Karya akademik yang didakunya pun tanpa kontribusi memadai dari pendakunya.

Izinkan saya mengajak untuk melakukan refleksi kolektif atas isu ini. Ujungnya adalah koreksi kolektif yang dijalankan dan dilantangkan bersama-sama. Tanpa koreksi ini, saya tidak berani membayangkan masa depan dunia akademik di Indonesia, yang bisa jadi semakin suram. Tentu, bukan ini yang kita harapkan.

Sambutan pada acara serah terima surat keputusan pengangkatan jabatan akademik profesor atas nama Anas Hidayat, Ph.D. pada 11 Juni 2024