Kolegial, Digital, Mondial

Ketiga kata kunci di atas adalah tema besar yang diusung oleh warga Universitas Islam Indonesia (UII) dalam satu tahun mendatang, 2020. Ketiganya dapat ditautkan dengan tema besar Rencana Strategis UII 2019-2022, yang terdiri dari tiga tujuan strategis: menguatkan nilai (akar), menjulangkan inovasi (cabang), dan melebatkan manfaat (buah). Warga UII masih ingat, ketiga tujuan ini diinspirasi oleh ayat ke-24 dan ke-25 dari Surat Ibrahim.

Nah, lalu apa arti dari tema 2020 tersebut di atas? Pertama, kolegial bukan kata yang jarang kita dengar. Hanya saja, kata ini sangat jarang kita maknai secara serius dan tulus. Mari kita refleksikan! Kolegial mengandung beragam makna yang inheren. Mari kita kupas beberapa.

Kolegialitas muncul dalam organisasi yang cenderung datar, bukan hirarkikal. Ini bukan masalah gambar struktur yang bertingkat, tetapi soal bagaimana bersikap dalam tingkatan tersebut. Bagaimana kita memandang jabatan akan sangat berpengaruh: berkah atau amanah, memerintah atau melayani, ‘ngebos’ atau egaliter?

Filosofi ini juga akan mempengaruhi bagaimana pola komunikasi dikembangkan antartingkat. Komunikasi ini menjadi sangat penting ketika beragam konflik muncul. Tidak ada satupun organisasi di muka bumi yang tidak terpapar konflik. Pertanyaannya adalah: bagaimana menjaga konflik tetap pada tingkat yang dapat dikelola. Jika dosisnya tepat, konflik justru dapat merangsang inovasi.

Jika konflik terjadi, semangat kolegialitas harus dimunculkan dalam penyetelan ‘harga diri’ sampai pada tingkat yang membuka komunikasi. Ketika harga diri disetel terlalu tinggi, jangan harap ruang dialog bisa dibuka. Mudah? Tidak, tetapi bukan tidak mungkin diikhtiarkan.

Selain itu, kolegialitas juga berarti bahwa inovasi diharapkan muncul di semua tingkatan. Jangan hanya menunggu perintah dan arahan atasan. Pun demikian, atasan perlu melakukan mitigasi risiko disharmoni. Caranya? Berikan arahan yang cukup jelas dan beri kepercayaan kepada bawahan untuk secara kreatif menerjemahkan.

Kedua, kata digital dapat diterjemahkan ke dalam paling tidak tiga aspek. Secara lazim, kita akan dengan mudah mengasosiakan kata ini dengan infrastruktur informasi, baik berupa perangkat keras maupun perangkat lunak. Yang pertama, lebih mudah diadakah, dan yang kedua sangat menantang untuk didesain dan diimplementasikan.

Digital juga terkait dengan bagaimana aspek ini ditautkan dengan materi dan metode pembelajaran. Kurikulum perlu dimutakhirkan untuk mengakomodasi aspek ini secara cerdas. Tidak perlu terjebak dengan beragam jargon tanpa konseptualisasi yang memadai. Jika radar kita aktif, tidak sulit untuk merekam perubahan dahsyat dalam beberapa tahun terakhir akibat digitalisasi.

Selain itu, generasi milenial sangat adalah para pribumi digital, yang mengenal beragam perangkat dan layanan diginal sejak dini. Di sisi lainnya, banyak dosen saat ini yang merupakan muhajir digital. Kedua sisi ini perlu didekatkan. Dosen, misalnya, sudah seharusnya selalu ‘kulakan’ untuk dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan.

Untuk memberikan efek yang dahsyat, digital sudah seharusnya menjadi budaya. Karenanya, digital juga dapat melekat pada budaya kerja. Ketika beragam layanan digital tersedia, akan sangat baik, jika layanan tersebut diintegrasikan dengan beragam proses bisnis yang berjalan. Mulai dari komunikasi, koordinasi, perencanaan, pengawasan, sampai dengan pengambilan keputusan.

Ketiga, mondialitas adalah semangat yang diusung UII sejak pendiriannya. Para pendiri tidak pernah bercita-cita menjadikan UII hanya berkelas lokal atau nasional. Semangat ini harus tetap dijaga hangat.

Beragam inisiatif dapat dilakukan untuk mendapatkan rekognisi internasional. Akreditasi internasional lembaga salah satunya. Tetapi harus hati-hati mengelolanya. Jika tidak, bisa jadi akreditasi akan menjadi hobi berbiaya mahal, tanpa manfaat yang signifikan.

Sertifikasi internasional lembaga adalah pilihan lain. Beragam konsiderans dapat didaftar untuk menentukan pilihan ini, mulai ketersediaan sumber daya sampai dengan potensi dampak.

Jalan alternatif lain untuk memondialkan lembaga dapat berupa pembuatan program gelar ganda dengan mitra internasional. Tidak sulit untuk sepakat, ketika mitra internasional mau menjalin kerjasama gelar ganda, maka dipastikan mereka memberikan rekognisi terhadap kualitas internasional kita. Tentu beragam program turunan jangan pendek dapat didaftar juga, seperti transfer kredit atau aktivitas bersama.

Produksi publikasi dalam beragam bentuk yang berkelas juga merupakan pilihan jalan yang elegan dan berumur panjang. Karenanya, iklim yang mendorong perlu diciptakan. Para dosen harus mampu berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan mitra internasionalnya. Arti sederhananya, siap diajak ‘ngobrol’ atau kerjasama dengan bahasa dan konten berkelas internasional, alias berkenaan dengan perkembangan mutakhir dalam disiplinnya masing-masing.

Semoga.