Kok TikTok Tok
Ahad pagi akhir pekan lalu, tetiba, seorang jurnalis yang saya hormati mengirim pesan WhatsApp. Dia ingin mengklarifikasi konten TikTok oleh akun @suryaaae0 yang mengaku sebagai mahasiswa bimbingan skripsi Prof Mahfud MD. Konten video itu menunjukkan ruang kerja calon wakil presiden tersebut di Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII). Narasi yang dibangun oleh pemilik akun adalah bahwa Prof Mahfud menelantarkan bimbingannya.
Kebohongan itu
“Niat arep bimbingan lakok ditinggal dadi cawapres“. Berniat akan melakukan bimbingan, tapi ditinggal menjadi calon wakil presiden. Demikian teks dalam video tersebut.
Konten TikTok itu disambar begitu saja oleh beberapa media, termasuk yang selama ini terlihat bonafide. Sejak Konten tersebut sudah ditonton 1,5 juta kali, disukai 95,7 ribu orang, mendapatkan lebih dari 1.500 komentar, dan dibagikan sebanyak 1.250 kali.
Tabayun pun saya lakukan. Prof Mahfud MD sebagai pejabat negara sudah lama tidak membimbing skripsi mahasiswa tingkat sarjana. Dapat dipastikan, narasi konten TikTok tersebut tidak sesuai dengan fakta di lapangan alias sebuah kebohongan.
Perhatian bersama
Ada beberapa isu dalam kasus ini yang perlu mendapatkan perhatian bersama.
Pertama, pemilik akun @suryaaae0 secara sengaja membuat konten dan menebarkan narasi yang tidak valid. Kita tidak tahu motivasinya, tetapi patut diduga, yang bersangkutan ingin mendompleng peristiwa pencalonan Prof Mahfud MD sebagai wakil presiden sehari sebelumnya. Dari 24 konten yang diunggahnya, konten inilah yang mendapatkan paling banyak atensi dari warganet.
Produksi konten yang ditujukan untuk memancing kehebohan ini seperti ini jelas bukan yang pertama. Memori kita tidak begitu sulit mengingat beragam kasus serupa. Beberapa bahkan menjadi kasus hukum atau mendapatkan kritik tajam dari para warganet yang masih waras.
Kedua, media ternyata terjebak pada narasi di media sosial tanpa melakukan tabayun. Dalam konteks ini, berita kok berdasar konten TikTok tok. Keinginan untuk menggaet pembaca sebanyak mungkin dan hasrat dianggap sebagai yang pertama memberitakan, tampaknya telah menggoda media. Validitas informasi seakan menjadi nomor sekian yang tidak begitu penting.
Tentu, ini merupakan praktik jurnalisme yang mengkhawatirkan karena sudah mengabaikan norma yang seharusnya dijaga: memberitakan fakta. Sudah sangat lama, kita jengah dengan para oknum jurnalis pemalas seperti ini.
Ketiga, kebohongan dalam konten mempunyai beberapa implikasi. Dalam kasus ini, di antaranya adalah pemahaman yang salah yang melahirkan kesan buruk, baik untuk Prof Mahfud MD maupun untuk UII sebagai lembaga pendidikan tinggi.
Sebagai dosen, Prof Mahfud MD dianggap tidak menjalankan amanah yang diberikan oleh program studi untuk membimbing mahasiswa. UII, secara kelembagaan juga dirugikan karena dikesankan tidak menjalankan tugas kendali mutu dengan baik.
Keempat, sebagian warganet mungkin menganggap kebohongan konten tersebut sebagai hiburan semata. Tetapi siapa yang mampu menjamin semua orang beranggapan demikian?
Ingat, tidak semua orang mempunyai elemen kognitif dan personalitas yang sama. Sebagian orang sangat mudah percaya dengan informasi apa pun yang memaparnya. Penerimaan orang terhadap kebohongan juga tidak terlepas dari elemen konteks. Reputasi media atau orang yang memberitakannya juga memberi bobot literal informasi.
Kebohongan terhadap liyan adalah pelanggaran otonomi individu dan demonstrasi penghinaan. Dalam ajaran Islam, kebohongan tidak dibenarkan, kecuali karena tiga alasan: menyenangkan pasangan, menyelamatkan nyawa, atau mendamaikan pihak yang berseteru.
Sialnya, dampak kebohongan sering kali tidak mudah dibayangkan secara kasat mata. Karenanya, kebohongan, apalagi yang disengaja, jelas tidak bisa ditoleransi.
Tulisan sudah tayang dalam Kolom Analisis Harian Kedaulatan Rakyat pada 11 November 2023.