Kisah Mahasiswa UII Ikuti Pertukaran Pelajar Daring di ASEAN
Pandemi tidak mengendorkan upaya mahasiswa UII untuk mengikuti kegiatan mobilitas internasional. Meski lebih banyak digelar secara daring, terbukti kegiatan ini tidak lantas sepi peminat. Salah satunya yakni program International Credit Transfer (ICT) yang diikuti oleh mahasiswa UII di University of Malaya dan University of Mapua. Dua orang mahasiswa yang terlibat dalam program ini yakni Akmal Maulana AR yang belajar di University of Malaya dan Shafina di Mapua University. Keduanya berbagi pengalaman dalam Talkshow bertajuk Suka Duka Mahasiswa International Credit Transfer (ICT) Selama Pandemi, pada Sabtu (29/1).
Akmal menjelaskan bahwa ia melihat perbedaan pendidikan di Indonesia dan Malaysia terletak pada sistem kurikulum yang digunakan, durasi untuk mendapatkan nilai hasil ujian serta sistem menulis essay. Sistem penilaian misalnya, menghabiskan waktu 2-3 minggu untuk mengolah nilai khususnya ketika para dosen melakukan rapat senat penentuan nilai.
Terkait dengan sistem penulisan essay, Akmal menilai bahwa para mahasiswa di University of Malaya memberikan jawaban yang sangat detail terkait poin-poin yang diminta untuk dijabarkan. “Jadi mereka itu mengambil poin-poinnya dari ensiklopedia daring dan mencari sumbernya dari berbagai literatur.” Ujar Akmal.
Sementara Shafina bercerita di Mapua University juga merasakan 3 kali pertemuan dalam seminggu untuk satu mata kuliah dengan durasi 1 sampai 1,5 jam per pertemuan. “Kami juga memiliki waktu pengerjaan tugas yang cukup cepat seperti 2 hari untuk satu mata kuliah.” Tambah Shafina. Ia menambahkan bahwa selama mengikuti program ini, ia cukup sering menemukan mahasiswa yang aktif dan tidak memiliki rasa takut dalam tanya jawab selama sesi kelas.
Hal lain yang menjadi perbedaan di Mapua dan UII adalah beberapa mata kuliah yang diambil harus diganti di pertengahan semester karena sudah selesai di bulan November sedangkan durasi semester yang dimiliki sampai bulan Februari.
Terkait proses adaptasi, Akmal mengatakan bahwa ia terbantu dengan masa orientasi selama 2 minggu di awal perkuliahan. Ia juga cukup terbantu dengan durasi proses pembuatan akun sampai pemilihan mata kuliah yang cukup panjang. Selain itu, ia merasa memiliki keuntungan sebagai mahasiswa internasional melalui ketersediaan kode yang memungkinkan para mahasiswa untuk memilih mata kuliah dengan leluasa.
Di sisi lain, Shafina merasa cukup mudah beradaptasi berkat kehadiran buddy yang sangat responsif dan bahkan mencari dia untuk membantu proses adaptasinya. Shafina juga menuturkan bahwa ia merasa senang dengan mahasiswa lokal yang sering membantunya mempelajari bahasa setempat meskipun kelas dilaksanakan secara daring.
Terkait kegiatan non-akademik, kedua mahasiswa memiliki ketertarikan yang cukup berbeda. Misalnya Akmal yang memilih untuk mengikuti kelas bahasa Jepang, Mandarin hingga Thailand yang diajarkan oleh para mahasiswa asing. Ia juga mengikuti kelas Netflix yang tidak hanya menonton film tapi juga memahami dan membedah isi yang disampaikan di dalam film tersebut. “Tapi aku tidak bisa ikut semuanya karena terkendala waktu yang tidak bisa kuikuti dengan baik dan lebih memilih untuk mengerjakan tugas.” Pungkas Akmal. (AP/ESP)