Kisah Inspiratif Imam Empat Mazhab
Sebagian besar umat muslim di dunia meyakini terkait keberadaan empat mazhab yang menjadi rujukan fikih bagi Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah. Hal ini tidak lepas dari ilmu, amal, dan akhlaq yang mereka miliki. Sebagai imam yang menjadi panutan umat muslim hampir di seluruh dunia, tentu menarik untuk menguak atas kisah-kisah mereka.
Hal inilah yang disampaikan oleh ustadz Sulaiman Rasyid., S.T. dalam kajian bertema “Sirah Ulama Empat Mazhab” dalam Kajian Spesial Senja menjelang buka puasa, yang diadakan di pelataran Auditorium Abdul Kahar Mudzakkir pada Rabu (15/5).
Ustadz Sulaiman Rasyid membuka kisah Imam Abu Hanifah Rahimahullah. Imam dengan nama asli Nu’man bin Tsabit bin Marzuban ini lahir di kota Kuffah tahun 699 M. Beliau merupakan satu-satunya Imam yang besar dengan keluarga yang lengkap. Berbeda dengan tiga Imam lainnya yang yatim.
Salah satu kisah menarik dari Imam Abu Hanifah adalah saat beliau hendak mengisi majelis ilmu, beliau meminta kepada seorang karyawannya agar menjelaskan kepada pembeli tentang kondisi kain yang punya kualitas baik, serta kain yang punya cacat.
Titah Imam Abu Hanifah ternyata tidak diindahkan karyawannya. Mendapati hal tersebut, Imam Abu Hanifah meminta agar seluruh hasil perniagaan hari itu disedekahkan. “Inilah salah satu sifat Wara’ dari Abu Hanifah yang patut kita contoh.” Jelas Ustadz Sulaiman.
Selanjutnya adalah kisah Imam yang terkenal dengan kitab Haditsnya al-Muwatta. Imam Malik bin Annas Rahimahullah, saat menjejak usia tujuh tahun telah menghafal Al-Qur’an. Setiap hendak berangkat untuk belajar kepada gurunya Abdurrahman bin Farrukh, Ibunya selalu merapikan pakainnya.
“Hal inilah yang kurang dari orang tua zaman sekarang, yaitu mengajarkan anak mereka akhlaq yang baik. Anak usia di bawah tujuh tahun seharusnya diajarkan tentang akhlaq yang baik” keluh Ustadz Sulaiman Rasyid.
Tidak kalah menarik adalah kisah dari murid Imam Malik sendiri, yakni Muhammad bin Idris atau yang kita kenal dengan Imam Syafi’i. Pendiri mazhab syafi’i, yang saat ini menjadi tuntunan mayoritas penduduk di Indonesia, sejak usia tujuh tahun juga telah menghafal Al-Qur’an. Syafi’i Lahir di Gaza Palestina bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah, yaitu 150 H atau 767 M.
Pada usia 12 tahun, bersama ibunya, mereka hijrah ke Mekkah. Di sana Syafi’i kecil belajar sastra. Ia menghafal ribuan syair. Hingga suatu ketika ia diminta oleh seorang ustadz untuk berguru ke Madinah.
“Pertama kali pertemuannya dengan Imam Malik, Syafi’i kecil yang saat itu ditemani oleh Gubernur Madinah menghadap kepada Imam Malik, dengan maksud hendak berguru. Namun permohonan itu tidak diindahkan oleh Imam Malik”, jelasnya.
Sembari menarik jubah Imam Malik, Syafi’i menyampaikan tekadnya. Melihat raut wajah Syafi’i yang penuh semangat, Imam Malik akhinya mengizinkan ia berguru dengannya. “Bertakwalah kepada Allah dan jauhilah perbuatan maksiat. Karena ilmu adalah cahaya dan cahaya tidak akan masuk ke dalam hati yang penuh dengan dosa dan maksiat”, Pesannya.
Terakhir Ustadz Sulaiman menutup dengan kisah dari Imam Ahmad. Dikisahkan bahwa Imam Ahmad baru menikah setelah ibunya wafat, yaitu saat usianya yang ke-34 tahun. Perempuan yang dipilihnya pun perempuan dengan tampilan yang sederhana.
“Mengapa Imam Ahmad menikahi perempuan yang tidak begitu elok rupanya?” tanya Ustad Sulaiman kepada jamaa’ah. “Karena aku tidak ingin fokusku terhadap ilmu, terganggu karenannya.” Demikian Jawaban Imam Malik, sebagaimana dikisahkan Ustadz Sulaiman Rasyid. (DD/ESP)