Kewajiban Fidusia Profesor
Keluarga besar Universitas Islam Indonesia (UII) bersyukur atas nikmat yang tak berhenti terlimpah. Pagi ini, seorang kolega kita mendapatkan amanah jabatan baru, sebagai profesor: Prof. Dr. Winahyu Erwiningsih. Untuk itu, kita semua menyampaikan selamat atas capaian tertinggi dalam kewenangan akademik ini. Profesor bukan gelar akademik, tetapi jabatan yang punya muatan amanah besar yang melekat di sana.
Sampai hari ini, UII mempunyai 40 profesor aktif yang lahir dari rahim sendiri. Dalam setahun terakhir, selama 2023, UII mendapatkan 12 surat keputusan profesor. Prof. Winahyu merupakan profesor ke-13 di Fakultas Hukum UII.
Ini menjadikan proporsi dosen dengan jabatan akademik profesor mencapai 5 persen (40 dari 790 orang). Persentase ini hampir dua kali lipat dibandingkan rata-rata nasional, yang baru 2,61 persen dari sekitar 311.000 dosen.
Saat ini, sebanyak 262 dosen UII berpendidikan doktor (33,2%). Sebanyak 67 berjabatan lektor kepala dan 116 lektor. Mereka semua (183 orang) tinggal selangkah lagi mencapai jabatan akademik profesor.
Pada kesempatan yang baik ini, izinkan saya berbagi perspektif dan mengajak hadirin, terutama profesor baru, untuk membantu mematangkannya melalui refleksi lanjutan.
Kewajiban fidusia kepada mahasiswa
Dalam sambutan pendek ini, saya akan membahas kewajiban fidusia (fiduciary duties) profesor. Istilah fidusia digunakan di bidang hukum yang merujuk kepada pengalihan hak kepemilikan sebuah benda. Dalam konteks ini ada kepercayaan, seperti arti asal kata fidusia dari bahasa Latin, fidere yang berarti “mempercayai”. Fidusia adalah konsep relasional karena melibatkan lebih dari pihak.
Hubungan fidusia juga mengandaikan ada penerima manfaat (beneficiaries) yang menjadi fokus. Hubungan ini juga dianggap sebagai sesuatu yang berbeda, lebih tinggi, lebih murni, daripada sekedar hubungan kontraktual.
Mari, kita terapkan konsep ini dalam konteks pendidikan tinggi. Profesor dan secara luas dosen atau pendidik juga mempunyai hubungan fidusia dengan mahasiswa. Mahasiswa menaruh kepercayaan kepada para pendidik.
Di sini lain, sebagai implikasi, para pendidik mempunyai kewajiban fidusia yang merupakan hutang kepada mahasiswa (Scharffs & Welch, 2005). Kewajiban ini termasuk di antaranya memberikan bimbingan kepada mahasiswa, memberikan pengajaran yang berkualitas, menyediakan lingkungan pendidikan yang bebas dari rundungan dan pelecehan seksual, dan membentuk suasana kelas yang memandang mahasiswa setara dan bebas dari favoritisme atau jebakan anak emas. Daftar ini tentu bisa diperpanjang.
Juga penting disampaikan di sini bahwa pendidik tidak boleh menggunakan memanfaatkan relasi kuasa dengan mahasiswa untuk kepentingannya (Freedman, 1986). Dalam konteks ini, mahasiswa dalam posisi yang lemah.
Kehadiran para profesor diharapkan memberikan pencerahan kepada para mahasiswa. Peran ini sangat tidak mungkin diwakilkan, dan membutuhkan kehadiran dan interaksi langsung dengan mahasiswa.
Tentu, ada pengorbanan di sini, dari sisi waktu dan energi. Tetapi sekali ini, ini adalah harga layak yang harus dibayar karena mahasiswa (termasuk keluarganya) yang sudah menarik kepercayaan yang sangat tinggi.
Kita tidak mungkin membuat mahasiswa bertepuk sebelah tangan. Kita lengkapi dengan tangan kita supaya suara meriah muncul tapi bertemunya kedua tangan tersebut.
Kewajiban fidusia kepada publik
Apakah hubungan fidusia juga terjadi antara profesor dengan publik? Saya mengajak hadirin merenungkannya.
Profesor yang menjadi intelektual publik bisa menjadi salah satu penjelmaan karena kesadaran ini. Di sini, kepentingan publik menjadi fokus utama.
Di satu sisi, publik menaruh kepercayaan yang tinggi kepada profesor dan di sisi lain, juga ada “hutang” kepada publik yang harus dibayar oleh para profesor.
Peran intelektualisme publik ini bisa mewujud dalam beragam bentuk. Termasuk di dalamnya terlibat aktif dalam penyelesaian masalah publik atau meningkatkan kualitas kehidupan melalui aktivisme bersama organisasi publik.
Selain itu, juga dapat berbentuk ikhtiar mewarnai diskusi di ruang publik terkait isu bersama. Ikhtiar ini dapat disampaikan dalam beragam kanal, termasuk diskusi maupun tulisan populer atau kolom.
Studi yang dilakukan oleh Osborne dan Wilton (2017), misalnya, menemukan beragam alasan mengapa profesor menulis kolom di media populer. Beberapa yang mengemuka termasuk bahwa kolom akan memberikan wajah publik bagi kampus dan meningkatkan hubungan positif dengan konteks.
Kolom yang ditulis para profesor juga dipercaya akan memberikan sudut pandang akademik beragam isu yang muncul di media massa, selain juga akan menantang bias konservatisme atau pemahaman yang terlanjut melekat di tengah masyarakat. Dalam bahasa lain, kolom para profesor ini menawarkan perspektif baru yang lebih segar untuk beragam isu.
Responden lain mengatakan, menulis kolom juga sebagai bagian pengabdian kepada publik dengan membayar kepercayaan yang sudah diberikan kepada para profesor atau pendidik secara luas.
Sekali lagi, apa yang saya sampaikan diniatkan untuk membuka mata kolektif kita dan juga menghangatkan diskusi yang bermakna. Semoga berkenan.
Semoga amanah profesor ini menjadi pembuka berjuta pintu keberkahan, tidak hanya bagi pribadi dan keluarga, tetapi juga institusi dan publik. Sekali lagi, jabatan profesor tidak hanya merupakan prestasi, tetapi juga sekaligus amanah publik yang perlu dijalankan dengan sepenuh hati.
Referensi
Freedman, M. H. (1986). The professional responsibility of the law professor: Three neglected questions. Vanderbilt Law Review, 39(2), 275-286.
Osborne, G., & Wilton, S. (2017). Professing in the local press: Professors and public responsibilities. Journal of Community Engagement and Scholarship, 10(1), 67-80.
Scharffs, B. G., & Welch, J. W. (2005). An analytic framework for understanding and evaluating the fiduciary duties of educators. BYU Education & Law Journal, 4, 159-229.
Sambutan pada acara Serah Terima Surat Keputusan Profesor untuk Prof. Winahyu Erwiningsih, S.H., M.Hum., Not. pada 5 Januari 2024.