Ketimpangan Tata Ruang Menjadi Perhatian Pemerintah
Sekretaris Jendral Kementerian Agraria dan Tata Ruang, H. M. Noor Marzuki, SH., M.Si. memberikan kuliah umum di Kampus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Selasa (7/3). Di hadapan ratusan mahasiswa Fakultas Hukum UII, Noor Marzuki didampingi Direktur Pusat Studi Hukum Agraria UII, Mukmin Zakie, SH., M.Hum., Ph.D. memaparkan materi tentang Hukum Agraria dan Tata Ruang di Indonesia.
Disampaikan Noor Marzuki di awal materinya, tugas utama pengelolaan tata ruang dan agraria sejatinya telah diatur oleh negara dengan melibatkan rakyat guna mewujudkan keadilan. Dalam penekanannya disebutkan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 memberikan pedoman tentang pengelolaan sumber daya alam.
“Negara yang menentukan mana yang dapat ditetapkan sebagai zone industri, pemukiman, perkantoran juga sebagai fasilitas umum dan fasilitas sosial. Tetapi ketika menyusun zone ini, negara haruslah melibatkan rakyat,” paparnya.
Namun menurut Noor Marzuki yang juga Alumni Fakultas Hukum UII angkatan 79, tata ruang negara saat ini sudah sangat tidak teratur, tampak mulai dari ketimpangan penguasaan tata ruang hingga penerapan dari peraturan agraria. Menurutnya pihak penguasa tanah hanya memprioritaskan akomodasi mereka ke ranah bisnis dengan mengesampingkan hak rakyat. Perkembangan infrastruktur utama kerap kali tanpa diikuti dengan fasilitas umum yang memadai.
“Dalam tata ruang yang sehat, mestinya 30 persen sebagai kawasan yang bisa dimanfaatkan, sementara 70 persen adalah untuk fasilitas umum dan fasilitas sosial. Tetapi kenyataan yang terjadi adalah kebalikannya,” ujarnya.
Lebih lanjut Noor Marzuki mengungkapkan kondisi tata ruang saat ini menjadi ruang yang sangat berbahaya dan menjadi suatu ancaman. Saat ini sebagaimana diungkapkan Noor Marzuki, tidak bisa membedakan lagi di pemukiaman ada sekolah dan rumah sakit. “Zone-zone saat ini sudah tidak dipatuhi. Padahal tata ruang sejatinya adalah sebagai panglima wilayah untuk mengatur suatu ruang,” tandasnya.
Yang juga disayangkan saat ini menurut Noor Marzuki adalah terjadinya ketimpangan dalam penguasaan tanah. Data statistik menunjukkan hanya dua persen dari penduduk Indonesia yang menguasai aset negara dalam bentuk tanah dan bangunan.
Noor Marzuki menambahkan, pihaknya mempunyai target besar untuk mendaftarkan hak milik setiap jengkal tanah. Sejak tahun 1960 hingga sekarang baru 40 persen dari tanah negara yang baru didaftarkan. Sistem sertifikasi yang dijuluki agraria reform yang digagas oleh pemerintah sudah menerapkan sertifikasi tiap desa sehingga pendaftarannya sudah sistematik.
“Saat ini yang terjadi sistem tata ruang kita tidak menerapkan keadilan, sekaligus tanpa memperhatikan lingkungan. Indonesia mempunyai mimpi untuk mendaftarkan walaupun sejengkal tanah dengan biaya negara,” tutupnya pada akhir penyampaian materi. (BKP/RSH)