Kesetaraan Gender dalam Kacamata Politik Global
Kesetaraan gender selalu menjadi isu yang hangat diperbincangkan. Seperti belum lama ini, Prodi Hubungan Internasional (HI) Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar diskusi bertema “The Role of Man in Global Politics of Gender Equality”. Diskusi secara live di kanal youtube Department of International Relations UII itu diadakan pada Sabtu (13/6). Latar belakangnya adalah karena banyaknya isu perempuan yang sangat kompleks dan masih terjadinya ketidakadilan terhadap perempuan di berbagai tempat.
Dosen HI UII, Karina Utami Dewi, M.A. selaku moderator membuka diskusi dengan meminta para narasumber menyampaikan pendapatnya tentang keadilan gender menurut laki-laki. Kebetulan semua pemateri adalah laki-laki.
M. Rezky Utama, M.Si, salah seorang pemateri menyebut feminisme dalam isu gender telah mengubah persepsi wanita untuk menggantikan posisi laki-laki. menurutku disini kita masih bisa melihat di dunia ini bahwa masih banyak yang tidak percaya bahwa wanita dapat menggantikan pria.
“Kita bisa melihat ketika feminisme ditafsirkan agak berlebihan. Contohnya ketika perempuan harus bisa setara dengan laki-laki dalam artian bisa mengambil semua jabatan laki-laki. Namun di sisi lain, di berbagai tempat masih banyak stigma turun temurun mengenai perempuan yang tidak dianggap adil cara pandangnya. Seperti di Meksiko ketika kepala negaranya dinilai kurang peduli terhadap kesetaraan gender”, imbuhnya.
Meski demikian, ia juga melihat di tempat lain masih lekat pandangan yang menilai perempuan yang hanya berdiam di rumah sebagai sesuatu yang mulia. “Mereka berdiam di rumah karena harus mendidik anak-anaknya. Ibu menjadi pendidik pertama bagi anak. Banyak perempuan di Arab Saudi yang meskipun telah mengemban pendidikan tinggi lebih memilih menjadi ibu rumah tangga. Menurut saya ada hubungan sejarah yang berbeda sehingga terdapat perbedaan pula dalam memandang isu kesetaraan gender”, jelasnya.
Ia mencontohkan Israel sebagai negara maju yang memiliki deretan kaum perempuan yang duduk di jabatan strategis pemerintahan. Menurutnya, meski Israel maju dalam kesetaraan gender, namun perceraian menurut agama tertentu di sana berada di tangan suami. “Kita bisa melihat ketika ada kasus kekerasan dalam rumah tangga, maka tidak bisa langsung bercerai ketika suami tidak mau menceraikan istrinya”, jelasnya.
Berbeda dengan pemateri sebelumnya, Zulfikar R, Ph.D. Ia melihat fenomena di negara-negara teluk semenanjung Arab di mana memang kebanyakan wanita bekerja di rumah. Namun, ada fenomena lain yakni kurangnya penghargaan terhadap perempuan yang dirasakan oleh kebanyakan kaum hawa di sana. Hal ini tercermin pada kasus di Qatar yang menyuarakan gerakan kesetaraan gender. Meski pemerintah Qatar mulai memberi ruang perempuan di posisi-posisi strategis, seperti jabatan Menteri yang ditempati oleh wanita.
Namun demikian, di sana mereka masih merasa bahwa wanita belum bisa ditempatkan benar-benar setara dengan lelaki. Ada sejarah panjang antara lelaki dan perempuan, dan secara global peran wanita memang jarang diceritakan tidak sebanyak lelaki sehingga hal ini juga menjadi sudut pandang tersendiri bahwa wanita kurang mendapatkan apresiasi.
Ia pun membandingkan Qatar dan Tiongkok memiliki kesamaan yakni belum optimal dalam menerapkan kesetaraan gender. Kedua negara baru sebatas mengakomodasi isu tersebut dalam bidang pembuatan hukum atau aspek litigasi, sementara aspek penerapan di lapangan masih perlu banyak peningkatan. (FNJ/ESP)