Kesehatan Mental Ibu untuk Masa Depan Anak
Menjaga kesehatan pasca kelahiran merupakan hal penting untuk kita perhatikan, baik untuk ibu dan anak. Kesehatan mental seorang ibu menjadi krusial dalam mengasuh, merawat anak dan menjalankan tugasnya sehari-hari secara lebih baik. Tetapi terkait kesehatan mental ini terkadang sering disepelekan, baik oleh pasangan, keluarga, lingkungan dan bahkan oleh ibu itu sendiri. Topik kesehatan mental seorang ibu ini, menjadi tajuk utama pada Webinar Series “Seribu Hari Pertama Kehidupan” yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII), Sabtu (21/11).
Dokter Spesialis Anak RS JIH & RS UII, dr. Tien Budi Febriani, M.Sc., Sp.A mengemukakan adanya depresi peripartum dari seorang ibu yang dapat mempengaruhi bayi dan keluarga. Gejala depresi Peripartum sendiri berupa gejala-gejala depresi pada umumnya dialami oleh banyak orang (insomnia, gangguan nafsu makan, suasana hati yang tidak menentu). “Kondisi ini yang jelas akan mempengaruhi ibu itu sendiri. Kemudian menjadikan ibu kurang bisa merespons bayi, selanjutnya ibu ini tidak akan mampu memberikan stimulasi untuk tumbuh kembang anak,” Jelasnya.
Lebih lanjut, dr. Tien menambahkan bahwa dalam jangka waktu yang lebih lama, depresi ini bisa menjalar hingga menyebabkan masalah lain semakin membesar. “Hal ini akan mempengaruhi anggota keluarga lainnya. Seperti dengan pasangan, saudara, orang tua. Ini justru akan memperburuk konflik yang mungkin sebelumnya sudah ada. Bisa berakibat kekerasan pada rumah tangga juga,” tambahnya.
dr. Tien menjelaskan pula siapa saja yang dapat berpotensi untuk mengalami depresi peripartum. “Resiko lebih tinggi dialami oleh para ibu yang memiliki riwayat gangguan mood, seperti depresi atau bipolar. Ada riwayat depresi pada keluarga. Lalu ada isolasi sosial, seperti kurang dukungan keluarga, pasangan, dan masyarakat. Memiliki masalah perkawinan. Kemudian hamil di usia yang terlalu muda ataupun tuat,” jelasnya.
Terdapat dua Penyebab terjadinya tekanan ataupun stres, yaitu fisik dan psikososial. Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa FK UII, dr. Eska Agustin Putri Susanti, Sp.KJ, mengatakan tekanan fisik berupa beban kerja tubuh yang lebih berat untuk menampung ibu dan janin. “Tekanan fisik dalam jantung ini bekerja lebih keras untuk menjaga kadar oksigen dalam tubuh. Kemudian penggunaan energi selain untuk dirinya dan janin, juga digunakan untuk beraktivitas,” terangnya.
Selain tekanan fisik, tekanan psikososial menjadi penyebab tambahan. “Adanya kekurang puasan hubungan dengan suami, karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Lalu ada rasa cemas ketika dia belum siap memiliki anak, bagaimana nanti merawat atau mengurusi anak. Kemudian adanya komentar negatif dari orang lain terkait fisik. Lalu, bisa juga masalah pekerjaan,” imbuhnya.
Adaptasi Terhadap Tekanan
dr. Eska menuturkan bahwa Stress ataupun tekanan sebenarnya dapat dikendalikan. Cara adaptasi terhadap stres terkait kesehatan fisik, dilakukan dengan pola hidup yang sehat. “Pola makan-nya harus sehat dan seimbang, kemudian tidur yang cukup 7-9 jam. Juga melakukan pengobatan sesuai kebutuhan”. Tuturnya.
Selain kesehatan fisik, kesehatan mental dan kehidupan sosial perlu menjadi perhatian. “Untuk kesehatan mental tipsnya berusaha untuk selalu berpikir rasional, dan mencoba batasan diri, baik itu dalam hal pekerjaan ataupun waktu. “Terkait dengan kehidupan sosial, pastikan keamanan finansial. Seperti tabungan darurat, asuransi, atau gaji. Selain itu perlu ada sistem dukungan baik dari pasangan, keluarga, dan juga kelompok-kelompok tertentu,” tandas dr. Eska.
Pendekatan untuk adaptasi stres bagi ibu tidak hanya dilakukan secara medis, serta sosial namun juga secara spiritual. dr. Eska mengatakan terkait pendekatan secara Islamic, ikhtiar harus selalu didampingi dengan doa. “Ikhtiar dan doa harus dilakukan, agar kita diberi kemudahan serta taufik untuk menjalan kewajiban sebagai seorang ibu. Mungkin bisa juga ditanamkan sikap ikhlas dan tulus untuk berperan sebagai ibu baru,” terangnya. (FSP/RS)