Kepercayaan Publik Terhadap Saintis

Beberapa bulan lalu, pada November 2024, Pew Research Center merilis laporan hasil survei di Amerika, untuk melihat bagaimana kepercayaan publik terhadap saintis (Tyson & Kennedy, 2024). Pew melakukan survei ini berkala. Kepercayaan publik Amerika terhadap saintis sempat menurut ketika pandemi Covid-19. Tetapi, meski sudah menaik, skor terakhir masih jauh lebih rendah dibandingkan ketika sebelum pandemi yang pernah mencapai 87%.

 

Variasi kepercayaan

Survei pada akhir 2024 tersebut menemukan bahwa kepercayaan publik semakin naik. Sebanyak 76% publik Amerika percaya bahwa saintis akan bertindak untuk kepentingan publik. Kepercayaan ini jauh di atas kepercayaan publik terhadap politisi terpilih (33%), pemimpin bisnis (40%), jurnalis (45%), dan bahkan pemimpin agama (55%).

Publik juga melihat bahwa saintis sebagai mereka yang cerdas (89%) dan fokus pada penyelesaian masalah nyata (65%). Lebih dari separuh (51%) publik Amerika menginginkan saintis terlibat dalam debat pengambilan kebijakan publik.

Namun, di saat yang sama, hanya 45% publik yang melihat bahwa saintis adalah komunikator yang baik. Sisi ini menjadi kelemahan saintis. Sisi yang menjadi catatan lainnya adalah bahwa 47% publik Amerika melihat para saintis merasa superior dibandingkan orang lain.

Bagaimana dengan konteks Indonesia? Laporan yang dimuat oleh Nature Human Behaviour bulan lalu, pada Januari 2025, bisa menjadi rujukan (Cologna et al., 2025). Laporan ini membandingkan kepercayaan publik terhadap saintis di 68 negara. Skor Amerika pada laporan ini adalah 3,86 (1=sangat rendah; 5=sangat tinggi). Indonesia tepat di bawahnya dengan skor 3,84. Artinya, kepercayaan publik Indonesia terhadap saintis masih tinggi. Tentu, ini merupakan kepercayaan yang sayang sekali jika disia-siakan.

Skor tertinggi diperoleh Mesir (4,30) dan India (4,26). Skor terendah dimilik oleh Albania (3,05) dan Kazakhstan (3,13). Artinya, publik Mesir dan India mempunyai kepercayaan yang sangat tinggi terhadap saintis.  Namun, tidak demikian halnya di Albania dan Kazakhstan.

 

Mencari penjelas

Beragam faktor dianalisis untuk menjelaskan fenomena ini.

Misalnya, studi menemukan bahwa pendidikan sampai tingkat pendidikan tinggi mempunyai hubungan positif terkait kepercayaan terhadap saintis, tetapi sangat kecil. Bahkan di beberapa negara, tidak ditemukan korelasinya (Cologna et al., 2025).

Temuan menarik lainnya adalah bahwa religiositas berhubungan positif dengan tingkat kepercayaan terhadap sains. Hal ini berbeda dengan temuan studi sebelumnya di konteks Eropa dan Amerika, yang justru sebaliknya (Azevedo & Jost, 2021; Rutjens & van der Lee, 2020).

Di negara-negara muslim, kepercayaan terhadap saintis berkorelasi dengan religiositas. Kepercayaan bahwa Al-Qur’an juga memuat prinsip-prinsip sains memberi konteks untuk temuan ini.

Tentu masih banyak faktor penjelas dalam laporan tersebut yang tidak semuanya saya bahas di sini.

 

Harapan publik

Pertanyaan selanjutnya adalah: apa yang diinginkan publik terhadap saintis terkait dengan pengambilan kebijakan publik? Studi Cologna et al. (2025) mengungkap beberapa temuan menarik.

Sebanyak 83% publik mengharapkan saintis dapat berkomunikasi dengan kalangan awam. Selain itu, 54% publik juga menginginkan saintis bekerja sama dengan politisi untuk mengintegrasikan sains dalam perumusan kebijakan. Soal aktivisme saintis, 49% publik juga berharap saintis terlibat dalam advokasi kebijakan.

Dalam bahasa yang lebih lugas: publik berharap saintis tidak hanya duduk di singgasananya, tetapi mau turun dan terlibat dalam urusan publik. Bukan untuk memenuhi kepentingan saintis semata, tetapi terlebih untuk kepentingan publik.

 

Intelektual publik

Dalam konteks ini, gagasan untuk mengajak setiap dosen menjadi intelektual publik mendapatkan bukti saintifik. Itu adalah kehendak publik.

Beragam bingkai bisa kita hadirkan dalam konteks ini.

Intelektual publik harus memiliki tawaduk intelektual (intellectual humility). Tawaduk ini menghadirkan kesadaran bahwa ada ruang kesalahan dalam kerja intelektualisme. Karenanya, penemuan sains terus dilakukan dan diskusi senantiasa dijalankan.

Sains berkembang dengan verifikasi dan falsifikasi. Temuan baru bisa menguatkan yang sebelumnya, tetapi dapat juga sebaliknya.

Selain itu, tawaduk ini juga mengharuskan pembukaan diri terhadap bukti atau temuan baru. Ini salah satu indikator perangai saintifik (scientific temper).

Di era pascakebenaran seperti saat ini, menjaga perangai saintifik menjadi lebih menantang karena orang sering kali lebih menyuka kata perasaan dan opini dibandingkan fakta saintifik.

Di sinilah, intelektual publik perlu memainkan perannya, untuk mendekatkan kajiannya dengan kepentingan publik, mengedukasi publik dengan narasi alternatif yang saintifik, dan jika diperlukan terlibat dalam advokasi isu yang berkenaan dengan urusan publik.

 

Referensi

Azevedo, F., & Jost, J. T. (2021). The ideological basis of antiscientific attitudes: Effects of authoritarianism, conservatism, religiosity, social dominance, and system justification. Group Processes & Intergroup Relations24(4), 518-549.

Cologna, V., Mede, N. G., Berger, S., Besley, J., Brick, C., Joubert, M., … & Metag, J. (2025). Trust in scientists and their role in society across 68 countries. Nature Human Behaviour, 1-18.

Rutjens, B. T., & van der Lee, R. (2020). Spiritual skepticism? Heterogeneous science skepticism in the Netherlands. Public Understanding of Science29(3), 335-352.

Tyson, A. & Kennedy, B. (2024). Public trust in scientists and views on their role in policymaking. Tersedia di: https://www.pewresearch.org/science/2024/11/14/public-trust-in-scientists-and-views-on-their-role-in-policymaking/

 

Sambutan penerimaan lima surat keputusan jabatan akademik profesor untuk Prof Sholeh Ma’mun, Prof Subhan Afifi, Prof Vitarani Dwi Ananda Ningrum, Prof Eko Siswoyo, dan Prof Suci Hanifah, di Universitas Islam Indonesia pada 18 Februari 2025

Fathul Wahid

Rektor Universitas Islam Indonesia

2022-2026