Kenali Dampak Psikologis Perselingkuhan Bagi Anak dan Pasangan
Srikandi Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan webinar bertemakan “Breaking Down Cheating Behavior: Faktor dan Dampak Psikologis Perselingkuhan”. Topik ini diangkat dari isu perselingkuhan yang kini tengah marak diperbincangkan masyarakat luas dan membuat seseorang mengalami gangguan psikologis ketika menghadapinya. Webinar dilaksanakan pada Minggu (27/2) dengan mengundang pemateri Iswan Saputro, S.Psi., M.Psi., Psikolog, yang ahli di bidang Psikolog Klinis Dewasa & Personality Growth.
Iswan menyebut dampak perselingkuhan tidak bisa dianggap enteng. Perselingkuhan dapat membuat orang merasa depresi, mengalami krisis kepercayaan, gangguan pasca trauma, kurang percaya diri, rendah diri, menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berdaya, dan mengalami kecemasan.
Selain itu, apabila perselingkuhan terjadi terhadap seorang yang telah menikah dan memiliki anak, hal ini juga dapat berdampak pada psikologis anak. Beberapa dampaknya bagi anak yaitu: anak biasanya akan merasa kebingungan, kecemasan, abai, dan mengisolasi dirinya, anak akan cenderung sulit percaya kepada pasangannya di masa depan, memiliki perspektif negatif terhadap kesetiaan, dan meniru untuk melakukan perselingkuhan dalam hubungannya di masa depan.
Iswan mengatakan bahwa terdapat beberapa ciri bagi seseorang yang pernah melakukan perselingkuhan. Pelaku cenderung merasa bersalah dan menyesal atas perselingkuhan yang dilakukan. Menurut data yang ia himpun, 30% pelaku kasus perselingkuhan mengakui kalau mereka berusaha bertahan dalam hubungan tersebut dan dalam jangka waktu tertentu memilih untuk mengakhirinya. Sementara 15,6% orang berusaha untuk terus bertahan dalam hubungan tersebut, dan 54,5% langsung memutuskan hubungannya saat adanya pengakuan tersebut.
Iswan menjelaskan bahwa setidaknya ada beberapa hal yang mendorong seseorang untuk melakukan perselingkuhan. Salah satunya yakni kurangnya rasa percaya dari pasangannya terhadap dirinya. Kemudian orang tersebut cenderung ingin merasa bebas dan tidak mau diatur oleh pasangannya. Selanjutnya kurangnya rasa cinta dari pasangannya atau terdapat hal-hal yang memicu keraguannya terhadap pasangannya.
Penyebab lain bisa berupa adanya tindakan penolakan dari pasangannya, merasa dirinya memiliki keberhargaan diri, komitmen yang rendah dalam suatu hubungan, pengaruh keinginan seksual, dan adanya situasi yang mempengaruhinya untuk melakukan perselingkuhan tersebut.
Ia juga memerinci fase-fase dalam hubungan perselingkuhan. Di fase pertama, perselingkuhan dapat terjadi dalam suatu hubungan yang salah, yakni tidak ada keseimbangan antara seseorang dan pasangannya. Biasanya salah satu pihak merasa takut untuk menolak terhadap pasangannya. Dari situasi ini, kemudian muncul fase kedua, yakni terjadinya tindakan perselingkuhan. Fase ketiga yaitu fase rekonsiliasi dimana orang yang melakukan perselingkuhan menyesali perbuatannya dan meminta maaf. Dan keempat, fase calm, di mana tiap pasangan berusaha untuk menerima dan menganggap semuanya tidak terjadi apa-apa.
Iswan mewanti-wanti perilaku manipulatif orang yang berselingkuh. Biasanya ia akan membuat pasangannya berada dalam kondisi lemah dan tidak berdaya sehingga leluasa mengeksploitasi pasangannya dengan melakukan perselingkuhan. Mereka juga cenderung akan terus-terusan berbohong kepada pasangannya. Tidak jarang, pelaku sengaja membuat candaan-candaan yang membuat pasangannya ragu dan tidak percaya diri. Mereka juga lihai membuat pasangannya merasa bersalah dengan pengolahan kalimat.
Terakhir, Iswan menyampaikan bahwa tindakan perselingkuhan bisa saja dicegah atau dihentikan, dan perubahan tersebut hanya bisa berasal dari keinginan masing-masing pasangan dalam suatu hubungan. “Your life does not get better by chance, it gets better by change,” ujarnya mengakhiri sesi penyampaian materi. (EDN/ESP)