Kelas Daring Lupin
Pembelajaran daring yang sebagian dipaksa oleh pandemi nampaknya tidak selalu disuka. Ada banyak sebab. Termasuk di antaranya adalah rendahnya kesiapan, baik dari sisi mental, keterampilan, dan infrastruktur. Karakteristik materi pembelajaran juga bisa dimasukkan ke daftar alasan. Beragam upaya dilakukan untuk meningkatkan kesiapan ini dalam waktu yang singkat.
Di tengah upaya tersebut, diskusi tentang kehilangan pembelajaran (learning loss) menghangat akhir-akhir ini. Isu ini dikaitkan dengan kegagalan pembelajaran daring dalam mengantarkan peserta menguasai kompetensi yang diinginkan. Berita lain menyebut munculnya kelelahan zoom (zoom fatigue) karena terlalu di depan layar untuk beragam aktivitas daring. Isu kelelahan ini bahkan sampai ke radar Harvard Business Review, untuk diulas.
Selain itu, dari sisi pembelajar, muncul kebosanan terhadap pembelajaran daring. Sangat wajar. “Makan enak saja, jika menunya sama setiap hari, akan memunculkan kebosanan, kata seorang kawan. Kebosanan yang diindikasikan banyak hal, termasuk hilangnya semangat dalam pembelajaran, menjadi salah satu topik yang muncul dalam diskusi evaluasi kami di kampus beberapa hari lalu.
Beragam perspektif diungkap untuk memitigasi. Langkah pertama adalah menghindari penolakan (denialisme) bahwa kondisi pandemi berbeda dengan ketika normal. Termasuk langkat selanjutnya adalah memaknai kembali filosofi pembelajaran, membuat ruang toleransi, sampai dengan menyesuaikan desain pembelajaran.
Pertama, setiap pembelajaran pada dasarnya adalah membuat perbedaan, antara sebelum dan sesudah belajar. Dalam bahasa teknis, hal ini sering diwujudkan dalam capaian pembelajaran lulusan yang mengindikasikan kompetensi. Bahasa lainnya adalah mendefinisikan perbedaan yang diinginkan. Pertanyaan yang harus dijawab adalah: dengan pembelajaran daring ketika kenyataan tidak selalu sama dengan asumsi, perbedaan seperti apa yang seharusnya disepakati?
Kedua, ruang toleransi pun dibahas. Semua sepakat bahwa pendidikan punya misi membentuk karakter atau transfer nilai. Tidak ada ruang toleransi di sisi ini. Kecurangan yang ditemukan perlu diberi sanksi yang sesuai. Tetapi ketika menyangkut hal teknis, terkait dengan kualitas koneksi Internet yang tidak bersahabat atau paket data yang terbatas, maka toleransi seharusnya diberikan.
Ketiga, desain pembelajaran menjadi isu menarik. Di lapangan, tidak jarang, pembelajaran daring hanya sekedar memindah pembelajaran luring dengan bantuan teknologi informasi tanpa desain ulang yang cukup. Yang tadinya tatap muka selama 2,5 jam menjadi tatap maya dengan durasi yang sama, misalnya. Jika ini yang terjadi, tidak sulit membayangkan jika kebosanan mudah mendera.
Karenanya, di sini diperlukan inovasi dalam desain pembelajaran. Seorang kawan menyampaikan ide membuat pembelajaran layaknya film serial dengan alur cerita yang membuat penasaran dari satu seri ke seri lainnya.
Imajinasi melayang ke dua film serial besutan Netflix yang layak menjadi inspirasi: The Queen’s Gambit dan Lupin.
Film pertama menceritakan perjalanan anak perempuan penghuni panti asuhan yang menggemari catur dan akhirnya menjadi juara dunia. Film berlatar tahun 1950an dan 1960an ini disebut oleh The Economist sebagai salah satu serial televisi terbaik 2020. Sebuah analisis selingan menarik bahkan dibuat secara saintifik terkait dengan dunia percaturan. Pecatur profesional yang lebih muda secara konsisten mengalahkan yang lebih tua. Pecatur cenderung mencapai puncak karier pada usia muda dan meningkat sedikit setelah berusia 30 tahun. Pecatur generasi baru cenderung lebih mumpuni dibandingkan dengan generasi sebelumnya, karena perbaikan dalam pelatihan.
Film kedua, Lupin, menghidupkan tokoh rekaan penulis Prancis Maurice Leblanc yang ditulis pada 1905. Dengan latar belakang Kota Paris yang indah, film yang diliris di awal 2021 berhasil menggaet para penggemarnya. Tak memerlukan waktu lama untuk menyelesaikan sesi pertama yang berisi lima episode, yang mengantarkan kepada penasaran.
Apa yang menyatukan kedua film serial tersebut? Pertama, alur cerita yang tidak biasa. Nampaknya ini kekuatan utama film serial tersebut. Setiap fragmen berkontribusi kepada cerita keseluruhan. Rasanya tidak ada fragmen yang muspra. Selalu saja ada kejutan di setiap episodenya. Bayangkan jika setiap sesi kelas daring mengandung kejutan dan setiap fragmen pembelajaran daring memperkaya pengalaman personal dan kolektif.
Kedua, setiap tokoh diperankan dengan apik oleh para aktor secara konsisten. Mereka sangat menjiwai peran yang dimainkan. Imajinasikan jika para dosen dan mahasiswa menjalankan perannya dengan baik, sepenuh hati, dengan istikamah. Sulit untuk membayangkan kesuksesan pembelajaran daring tanpa peran aktif dosen dan mahasiswa.
Ketiga, setiap episode ditutup dengan rasa penasaran sehingga penantian akan lanjutannya dapat dirangkum dalam sebuah oksimoron: siksaan rasa ingin tahu yang nikmat. Dua jempol perlu diacungkan terhadap kualitas penyuntingan. Tak jarang, gaya kilas balik menguatkan jalinan antarfragmen. Kira-kira gambaran apa yang kita dapatkan jika strategi serupa diterapkan dalam proses pembelajaran daring? Jalinan antarfragmen, misalnya, dapat dikuatkan dengan pembelajaan terbalik (flipped learning): konten pembelajaran disiapkan dengan rekaman dan tatap maya digunakan untuk diskusi yang hidup.
Desain kelas gaya Lupin nampaknya bisa menjadi solusi kebosanan dan sekaligus meningkatkan kualitas pengalaman pembelajaran daring. Pembelajaran luring memang dapat menghadirkan cerita yang berbeda. Tapi, di kala pandemi seperti ini, pilihan yang tersedia tidak banyak.
Mari, sambil berikhtiar kolektif supaya pandemi segera sirna, kini adalah saatnya berbenah: kita ganti ratapan menjadi harapan dan maknai musibah menjadi berkah.
Versi lebih ringkas dari tulisan ini telah dimuat di Kolom Analisis SKH Kedaulatan Rakyat, 29 Januari 2021.