Kekuatan Konstitusi dan Ketahanan Kesatuan Bangsa
Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) kembali melanjutkan agenda Kuliah Umum Konstitusi dengan tema “Menguji Daya Lenting Konstitusi di Tengah Turbulensi” pada Jum’at (20/8), melalui zoom meeting. Pada seri ke-3 dari 5 rangkaian kuliah umum ini dihadirkan dua Ahli di bidang Hukum Ketatanegaraan, yakni Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A., CBE., dan Deputi VI Bidkor Kesbang Kemenko Polhukam RI, Dr. Janedjri M Gaffar, S.H., M.Si.
Dalam pemaparan materinya, Prof. Azyumardi mengatakan definisi daya lenting adalah kekuatan. Konstitusi harus memiliki kemampuan untuk menghadapi perubahan-perubahan yang ada di masyarakat. Tentunya kelentingan untuk menghadapi turbulensi atau perubahan yang ada saat ini, harus menuju ke arah yang lebih baik, bukan sebaliknya. Salah satu perkembangannya adalah wacana tentang amandemen ke-V UUD 1945.
Wacana tersebut menurutnya perlu dipertimbangkan lagi. Karena dalam amandemen UUD ini, tentunya bukan hanya terkait gagasan penetapan PPHN yang kedudukannya sama seperti GBHN, melainkan ada kemungkinan juga untuk merubah masa jabatan presiden. Hal ini tentunya perlu dikhawatirkan, mengingat sebagian dari MPR saat berada sebagai koalisi Presiden. Sehingga, kehendak untuk melanggengkan kekuasaan Presiden seperti zaman orde lama dan orde baru dapat saja terjadi.
Meski demikian, Prof. Azyumardi juga berpendapat bahwa perubahan terhadap konstitusi ini sangat dimungkinkan. Hal ini dikarenakn konstitusi bukan kitab suci yang harus selalu dibenarkan dan tidak boleh diubah sama sekali. Konstitusi merupakan produk hukum hasil buatan manusia, yang dalam perkembangannya, dapat disesuaikan dan dilakukan perubahan.
Konstitusi dalam proses amandemennya, lanjut Prof. Azyumardi, harus dilakukan dengan batasan-batasan tertentu. Sebab, amandemen konstitusi sangat rawan dimanfaatkan oleh rezim pemerintah untuk terus melanggengkan kekuasaanya. Dan tanpa adanya batasan-batasan yang jelas, bukan tidak mungkin amandemen terhadap konstitusi tersebut malah menyebabkan kemunduran demokratisasi dalam negara ini.
“Kelentingan atau fleksibilitas konstitusi itu diperlukan. Tetapi harus ada batas-batas yang mengatur terkait fleksibilitas itu sendiri,” ujar Prof. Azyumardi.
Selain itu, Prof. Azyumardi juga menyampaikan, bahwa konstitusi saat ini menurutnya sudah cukup baik dan mengandung beberapa unsur penting. Diantaranya yaitu, pertama, dapat mengakomodir moralitas hukum dan moralitas pemerintah. Kedua, cukup kuat dalam memberi kerangka dan prinsip yang tegas pada tiga cabang kekuasaan pemerintah, yaitu yudikatif, eksekutif, dan legislatif.
Selanjutnya yang Ketiga, mengatur dengan tegas dalam menyatakan hak-hak publik dan hak warga negara Indonesia. Dan keempat, bahasanya ditulis secara tegas, jelas, komperehensif, dan fleksibel terhadap perkembangan zaman. Sehingga menurut Prof. Azyumardi, turbulensia Indonesia di masa pandemi saat ini, seharusnya membuat pemerintah dalam menentukan suatu kebijakan, harus kembali ke konstitusi itu sendiri, bukan malah menambah turbulensi dengan melakukan amandemen terhadap konstitusi.
“Jika saat ini terjadi turbulensi, seharusnya pemerintah jangan menambah turbulensi lagi dengan melakukan amandemen UUD 1945. Apalagi, jika amandemen itu tidak diiringi dengan batasan-batasan yang jelas terkait pembahasan amandemen itu,” tandasnya.
Sementara Janedjri M Gaffar dalam materinya menyampaikan turbulensi yang dialami Indonesia di tengah pandemi ini, mengakibatkan terjadinya perubahan sosial. Diantaranya, yaitu timbulnya perasaan insecure, kritisme, dan sarkasme, berubahnya pola komunikasi dan adanya kendala verifikasi kebenaran, adanya pembatsan sosial dan realokasi sumber daya pemerintah, serta menimbulkan terjadinya perlambatan aktivitas ekonomi.
Menurut Janedjri, adanya perubahan sosial tersebutlah yang pada akhirnya berakibat ke berbagai aspek, seperti pertama, politik, adanya resistensi masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Kedua, hukum, adanya penegakkan hukum tidak dapat dilakukan secara tegas. Ketiga, ekonomi, menururnnya aktivitas ekonomi dan tingkat kesejahteraan. Dan keempat, keamanan, munculnya pelanggarasan disiplin dan tertib sosial mengancam rasa aman.
Jika melihat pada konstitusi, Janedjri mengatakan bahwasannya UUD 1945 merupakan hukum tertinggi negara Indonesia. Sehingga kedudukannya bukan hanya sebagai konstitusi bernegara, melainkan juga konstitusi untuk bermasyarakat dan berbangsa. Konstitusi mengikat dan dijalankan oleh masyarakat dan semua komponen bangsa Indonesia, serta menjadi orientasi dan tujuan hidup setiap individu warga negara dan segenap komponen bangsa Indonesia.
Berdasarkan pada konstitusi tersebut, menurutnya, pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan di masa pandemi ini, berorientasi kepada tiga hal, yaitu kesehatan, jarring pengaman sosial, dan pertimbangan ekonomi, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun keputusan. Di sisi lain, penanganan pandemi dengan substansi hukum ini, juga cukup berpengaruh pada struktur dan budaya masyarakat. Hal inilah yang pada akhirnya menyebabkan setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, membutuhkan edukasi dan sosialisasi yang masif.
Janedjri berpandangan bahwa kesatuan bangsa memiliki peran yang penting untuk menangani pandemi Covid-19 ini. Kesatuan bangsa ini, menurutnya dapat dilakukan dengan beberapa hal. Pertama meletakkan tujuan dan kepentingan bersama sebagai suatu bangsa harus diletakkan di atas tujuan dan kepentingan pribadi atau kelompok, Kedua perbedaan tetap dihormati dan dihargai dalam ikatan cita-cita dan spirit kebangsaan, ketiga mewujudkan demokrasi yang mensejhaterakan, dan keempat kepatuhan masyarakat terhadap hukum dan kebijakan pemerintah.
“Dengan beberapa hal ini, memang berat untuk dilakukan. Tapi tidak ada masalah yang tidak dapat terselesaikan jika ada kebersamaan di antara kita di dalam menyelesaikan masalah yang kita hadapi bersama,” ujar Janedjri. (EDN/RS)