Kekuatan Cendekiawan

Publik menggantungkan harapan tinggi kepada para cendekiawan untuk kebaikan bangsa ini. Ketika gagasan bernas untuk penyelesaian beragam masalah riil tidak mungkin, tak jarang, para cendekiawan akhirnya menjadi sasaran kritik.

Sejarah mencatat, cendekiawan selalu hadir di dalam lingkaran utama dan menjadi penggerak, bersama dengan aktor-aktor lain, pada setiap perubahan besar yang terjadi di Indonesia. Mari sejenak kita refleksikan fenomena ini.

Cendekiawan mempunyai posisi penting karena beragam kekuatan yang disandangnya. Berikut tiga di antaranya.

 

Kekuatan moral

Cendekiawan diharapkan dapat mengawal jalannya bangsa dan negara ini sesuai dengan cita-cita luhur dan konstitusi. Cendekiawan sudah seharusnya sensitif terhadap masalah yang muncul.

Karenanya, cendekiawan harus meniup peluit ketika bangsa atau negara terpleset atau tidak berjalan sesuai dengan seharusnya. Tiupan peluit harus dilantangkan, tetapi tetap dengan santun, elegan, dan konstitusional.

Dengan kekuatan ini, sudah seharusnya independensi cendekiawan menjadi terjaga dan tidak bisa terbeli. Jangan sampai cendekiawan tidak membela yang benar, tetapi justru membela yang membayar.  Juga, jangan sampai, cendekiawan dianggap sebagai tukang stempel beragam kebijakan yang tuna sensitivitas terhadap masalah rakyat atau pelestarian alam.

 

Kekuatan gagasan

Selama sebuah bangsa dan negara masih berlangsung, masalah dipastikan menjadi bagian yang inheren. Ada dinamika di sana.

Di sini, cendekiawan harus berperan memberikan kontribusi pemikiran yang jujur dan obyektif. Pemikiran ini harus melampaui kepentingan sesaat, apalagi sesat, karena ada anasir jahat yang menyertai, termasuk kepentingan lain yang menjadikan kepentingan bangsa dan negara menjadi nomor sekian.

Kerja sama lintas disiplin pun menjadi niscaya, ketika masalahnya multidimensi yang tidak bisa diteropong hanya dengan satu lensa. Sekat-sekat imajiner kaku disiplin harus dibongkar. Kosa kata baru harus diperkenalkan, yaitu kepentingan bangsa.

Dari perspektif dimensi temporal, sudah seharusnya cendekiawan tidak hanya bersifat responsif terhadap masalah-masalah mutakhir, tetapi juga proaktif untuk menawarkan gagasan yang melampaui zamannya. Yang pertama cenderung bersifat reaktir sebagai bentuk tanggung jawab terhadap masa kini, yang kedua merupakan kreativitas pemikiran untuk mendesain masa depan secara kolektif.

 

Kekuatan perekat

Cendekiawan dengan ilmu dan objektivitas yang dimiliki dapat menjadi jembatan penghubung, tali pengikat, keragaman yang ada. Ini fakta sosial. Sejak berdirinya, Indonesia ditenun dari keragaman.

Persatuan yang dibutuhkan tidak lantas menghapuskan fakta sosial tersebut. Saling menghormati dalam kehidupan berbangsa menjadi sangat penting. Ketika bangsa mengidap sindrom keterbelahan, cendekiawan seharusnya hadir menjadi perekat.

Karenanya, di dalam Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) sendiri, kesamaan cita-cita harus dikedepankan, dan perbedaan yang tidak penting harus dikesampingkan. ICMI harus kembali menjelma menjadi rumah besar beragam pemikiran kebangsaan.

Daftar kekuatan ini, tentu, dapat diperpanjang, karena refleksi kolektif sangat mungkin menghasilkan tilikan-tilikan baru. Kita buka ruang itu seluas-luasnya.

Elaborasi ringan dari poin-poin sambutan tuan rumah pada Sarasehan Kebangsaaan dan Pelantikan ICMI Orwil DI Yogyakarta di Universitas Islam Indonesia, pada 23 Mei 2022.