Kekerasan Pada Anak di Masa Pandemi Covid-19 Meningkat
Kekerasan pada anak selama pandemi mengalami peningkatan sekitar 15%. Kekerasan bisa berupa fisik maupun verbal. Terkadang orang tua tanpa sadar melakukan kekerasan tersebut. Kesiapan orang tua menjadi salah satu penyebab.
“Kekerasan pada anak seperti lingkaran setan yang akan berdampak hingga remaja sampai kemerosotan akhlak,” jelas dr. HM. Soeroyo Machfudz, Sp.A (K), MPH, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) dalam acara seminar yang berjudul “Kekerasan Pada Anak di Masa Pandemi Covid-19,” Minggu (13/6).
Berdasarkan data dari Penetapan Perpanjangan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana (PPSKTDB) kekerasan pada anak awalnya mengalami penurunaan saat periode awal pandemi. ”Namun kejenuhan dan tuntutan kerja pada akhirnya meningkatkan angka kejadian kekerasa,” paparnya.
Perilaku anak selama pandemi sebagaian besar merasa bosan di rumah. School from home membuat mereka khawatir akan pelajaran. ”Hingga mereka merasa khawatir akan ekonomi keluarga. Mereka tidak membicarakannya, tapi bukan berarti tidak tahu,” jelas dr. Soeroyo.
Kebanyakan korban kekerasan merasa takut untuk melapor karena kurangnya informasi untuk mengadu. ”Akses untuk mengadu rasanya sulit dijangkau untuk semua lapisan sosial,” jelasnya.
Faktor utama penyebab kekerasan pada anak tidak jauh dari persoalan ekonomi dan kematangan dari kepribadian orang tua. ”Hal yang paling penting adalah spiritual. Rasa syukur yang dirasakan oleh orang tua, hubungan yang baik dengan tuhan,” paparnya.
Anak-anak yang mengalami kekerasan biasanya bersikap tertutup dan mudah marah. Tidak jarang akan memiliki kepribadian kasar. Aktivitas di sekolah biasanya akan menurun atau buruk.” Gejala lain yang muncul adalah rasa takut yang tidak biasa,” jelas dr. Soeroyo.
Cara mencegah kekerasan pada anak karena pelaku bisa siapapun termasuk orang tua atau bahkan teman sebaya. ”Kita sebagai orang tua harus memantau pertemanan anak-anak, karena pergaulan dengan orang yang terindikasi kekerasan juga akan berdampak buruk,” pesan dr. Soeroyo.
Selanjutnya disampaikan dr. Retno Sutomo, Sp.A (K), PhD, dosen FKKMK UGM jika kekerasan pada anak selama pandemi ini memiliki trend baru yaitu melalui cyberbullying,” Penggunaan sosial media yang meningkatkan risiko untuk cyberbullying,” jelas dr. Retno,” Hal tersebut didukung data yang menunjukkan penggunaan sosial media atau gadget tidak digunakan untuk tujuan belajar.”
Rasa setres yang sudah terpupuk sejak dini nantinya akan menjadi bom waktu saat dewasa. ”Anak-anak yang mengalami kekerasan saat dewasa akan memiliki risiko lebih besar untuk menderita penyakit jantung, hipertensi, dan gangguan pencernaan,” papar dr. Retno.
Seorang anak adalah perekam peniru lingkungan sekitarnya. ”Saat seorang anak dibesarkan dengan motivasi, toleransi, dan penerimaan dia akan tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri serta menghargai,” pesan dr. Retno.
Kekerasan pada anak ada berbagai macamnya, tidak hanya fisik atau dipukul. ”Bisa juga fisik tidak langsung dengan pemberian hukuman disiplin yang berlebihan,” terang Dr. dr. Budi Pratiti, Sp.KJ, psikiatri di RSUP dr. Sardjito.
Gangguan mental pada anak bisa juga terjadi karena kekerasan psikis atau ada istilah emotional abuse. ”Sikap seperti meremehkan, pencemaran, menakut-nakuti, hingga menertawakan bisa berdampak negatif pada mental seorang anak,” jelasnya.
Fase anak merupakan fase bermain. ”Selama pandemi orang tua bisa mengajak anak bermain di taman bermain dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan,” tips dr. Pratiti. (UAH/RS)