Kecerdasan Buatan di Kampus, Mau ke Mana?
Dalam beberapa kesempatan, saya mendengar ceramah yang mengajak dunia pendidikan untuk menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI). Tidak dijelaskan bidang aplikasi spesifiknya.
Di kesempatan yang lain, penceramah berbeda dengan antusias mengatakan jika kampus harus mengadopsi teknologi blockchain dan mahadata (bigdata). Lagi-lagi, tidak diberikan ilustrasi atau pembuktian konsep tersebut dengan baik.
Kalau pun bidang aplikasi disebutkan, para pembicara tersebut tidak memberikan gambaran yang utuh. Fokus hanya pada sisi teknologi. Padahal teknologi tidak mungkin diimplementasikan dalam ruang hampa. Ada banyak konsiderans lain yang perlu dimasukkan ke dalam radar, termasuk konteks implementasi dan beragam implikasinya.
Dalam sebuah perbincangan, kolega pimpinan perguruan tinggi dengan bangga menyatakan jika kampusnya sudah menggunakan kecerdasan buatan. Yang satu menggunakan avatar untuk memroduksi video pembelajaran dan satunya lagi menggunakan chatbot untuk merespons pertanyaan dari publik. Tentu, kedua contoh ini valid. Tetapi, apakah hanya sebatas itu imajinasi kita? Ada banyak pertanyaan lain yang dapat dimunculkan.
Sonder konseptualisasi
Dari ilustrasi sederhana di atas, paling tidak ada dua isu yang menuntut keawasan kita. Tanpa keawasan ini, warga kampus akan terjebak pada jargon dan terlena tanpa konseptualisasi yang memadai.
Pertama, kecerdasan buatan didefinisikan secara berbeda-beda. Hal ini pun dapat diterima selama setiap definisi menyinggung substansinya. Tentu, untuk menyebut kecerdasan buatan, seseorang pun tidak harus memahami secara teknis bagaimana beragam algoritmanya bekerja. Tetapi, memahami konsep dasarnya tetap diperlukan. Untuk apa? Supaya kita tidak hanya terjebak narasi tanpa mampu memaknainya dengan memadai.
Sebagai ilustrasi sederhana. Saat ini, yang paling populer adalah kecerdasan buatan generatif (generative AI) yang dikembangkan berbasis pembelajaran mesin (machine learning) dan mampu menghasilkan teks, video, gambar, dan jenis konten lainnya. Kecerdasan buatan jenis ini disebut “generatif” karena kemampuannya dalam menghasilkan “konten baru”, sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya, bukan hanya melakukan tugas berdasarkan data yang sudah ada. Dalam konteks ini, data lampau yang digunakan untuk pembelajaran akan mempengaruhi luaran yang diproduksi oleh algoritma yang tertanam.
Kedua, tujuan penggunaan kecerdasan buatan di dunia pendidikan. Apakah untuk sekedar mendapatkan legitimasi (semu) karena sudah mengadopsinya? Ataukah, untuk tujuan yang lebih mulia: meningkatkan kualitas manajemen, proses pendidikan, atau artefak akademik? Meskipun sah-sah saja menggunakan kecerdasan untuk mendapatkan legitimasi, namun, dampaknya kurang bermakna. Pendekatan seperti ini, tidak jarang mengabaikan beragam dampak ikutannya, yang tidak selalu positif.
Dua isu di atas terkait dengan kampus sebagai pengembang pengguna teknologi yang akan digunakan di kampus. Isu ini juga valid untuk teknologi maju lainya, termasuk blockchain dan mahadata.
Ini bukan soal mengadopsinya, tetapi juga harus menakar makna yang dihadirkannya. Bisa jadi, ada yang berpendapat: daripada tidak mengadopsi sama sekali. Tentu saja, pendapat seperti ini juga dibolehkan. Namun, dampaknya ke dunia pendidikan terbuka untuk didiskusikan.
Praktik abu-abu pekat
Di sisi lain, sebagai pengguna, kemudahan yang dihadirkan oleh layanan yang dibangun dengan kecerdasan buatan telah melupakan banyak warga kampus akan dampak negatifnya. Penggunaan ChatGPT, misalnya. Di banyak kesempatan, diskusi lebih banyak diwarnai dengan manfaat yang dihadirkannya. Namun, sangat sedikit yang awas dan memberikan perhatian kepada sisi gelapnya.
Saat ini, misalnya, mahasiswa dapat dengan mudah menggunakan ChatGPT untuk mengerjakan beragam tugas kuliah. Dosen pun dipastikan kesulitan untuk mendeteksinya. Ada keputusasaan di sana, yang diobati dengan dalih: selama tidak ketahuan, tidak apa-apa.
Dosen pun serupa. Mereka menggunakannya untuk membuat artikel, laporan, atau proposal. Terlihat sangat indah dan bermanfaat. Apalagi hanya dengan biaya langganan yang sangat murah.
Kedua ilustrasi di atas merupakan praktik yang dapat memunculkan beragam diskusi etika. Jika ada aspek pendakuan atas karya, praktik ini dapat masuk ke ranah sisi gelap, atau paling tidak abu-abu pekat yang nyaris melanggar garis merah. Tentu, diskusi panjang tentang isu etika dan potensi bias yang mengikutinya dapat dibuka untuk membahasnya.
Isu ini pun sudah masuk radar banyak penerbit jurnal bereputasi dan juga lembaga donor. Beberapa kebijakan tertulis pun sudah dibuat untuk menegaskan koridor etika.
Kepedulian yang diharapkan
Karenanya, sambil berikhtiar menguasai teknologi dengan lebih baik, pimpinan dan warga kampus di Indonesia sudah saatnya peduli dengan sisi gelap kecerdasan buatan. Beberapa prinsip dasar berikut dapat membuka diskusi lanjutan.
Pertama, kita sepakat bahwa perkembangan teknologi, termasuk kecerdasan buatan, tidak bisa dibendung. Teknologi maju seperti ini perlu dikuasai dengan baik. Beberapa kampus pun mulai menawarkan program studi spesifik terkait dengan ini.
Kedua, kesadaran dialektika perlu dilantangkan bahwa setiap teknologi selalu hadir dengan dua sisi: positif dan negatif. Kedua hal ini harus dipikirkan bersamaan. Jika tidak, aksi korektif sangat mungkin terlambat untuk dijalankan. Di sini, koridor etika harus dibuat, supaya pengembangan teknologi tidak melupakan nilai-nilai kemanusiaan. Eksploitasi manusia terhadap liyan dengan bantuan teknologi adalah contohnya.
Ketiga, adopsi kecerdasan buatan harus memperhatikan dampaknya yang bermakna di dunia pendidikan dan tidak sekedar untuk terlihat keren serta mendapatkan pujian. Adopsi teknologi ini seyogyanya bukan lantaran tekanan koersif otoritas yang lebih tinggi atau sekedar mengikuti tren, tetapi karena kesadaran normatif akan dampaknya yang bermakna.
Sebagai penutup, bagi yang pesimis, di satu sisi, kehadiran kecerdasan buatan dikhawatirkan meminggirkan manusia. Tetapi di sini lain, bagi yang optimis, kehadirannya justru dianggap membebaskan manusia dari beragam aktivitas yang menyita banyak waktu. Kesadaran akan isu-isu etika mungkin dapat menjadi penengahnya.
Tulisan sudah tayang di Republika.id pada 23 November 2023.