Kapasitas Kelembagaan Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan
Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) menyelenggarakan webinar series Perundang-undangan pada Senin (21/6). Webinar menghadirkan narasumber Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D. (Guru Besar HTN Universitas Padjajaran), Dr. Jimmy Z. Usfunan, S.H., M.H. (Dosen HTN FH Universitas Udayana) dan Dian Kus Pratiwi, S.H., M.H. (Peneliti PSHK dan Dosen HTN FH UII).
Dr. Jimmy Z. Usfunan, S.H., M.H. mengutaran penjelasannya terkait masalah yang diberikan dalam konteks prokol dalam undangan ada tiga hal yakni capaian prolegnas yang selalu jauh dari target, aspek substansi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang tumpang tindih, dan obesitas hukum.
Suatu realita pada prolegnas ada persoalan-persoalan terkait menyusun perencanaan. Seperti bahwa faktanya di periode 2014-2019 ada 189 RUU namun hanya 35 RUU yang disahkan dan ada 37 RUU di tahun 2020 tetapi hanya 13 yang disahkan menjadi UU. Sekarang ada 248 RUU dalam prolegnas periode 2020-2024. Dalam skema institusi dalam perencanaan dan penyusunan peraturan perundang-undangan pasca UU Perubahan 12/2011 yaitu UU 15/2019 terdapat RUU, RPP, RanPerpres, Peraturan Lembaga (Pasal 8 UU 12/2011) dan Ranperda
Provinsi atau Kab/Kota itu antara lain melalui tahapan perencanaan, penyusunan dan harmonisasi. Penyebab capaian prolegnas yangg rendah yakni masih belum jelas arah politik legislasi antara eksekutif dan legislasi terkait di tahun 2019-2024, prolegnas sering disusun dengan keinginan dan ambisi yang sangat besar tanpa analisa dari realisasi di sektor kelembagaan dan kuatnya ego sektoral, dimana antar kementrian/lembaga kerap berbeda pandangan menyikapi sebuah RUU.
Perencanaan prolegnas menjadi penting ketika melihat pada sistem pembangunan nasional misal dalam konteks mengetahui. Maka menjadi penting untuk membuat dokumen arah legislasi nasional antara DPR, DPD dan pemerintah, menyesuaikan target rencana prolegnas dengan realitas kelembagaan, menggabungkan UU yang temanyan beririsan agar realisasinya bisa lebih optimal, dan menghentikan ego sektoral (kelembagaan). Ada persoalan jarak waktu terkait pengaturan PP dari UU yakni PP dibentuk melampaui waktu yang ditentukan dan PP tidak dibentuk-bentuk (melampaui ketentuan UU) seperti seperti Pasal 25 ayat(6) UU pemda terkait urusan pemerintah umum, diberikan waktu 2 tahun tapi sampai saat ini sudah 7 tahun belum dibentuk.
Kemudian mengenai persoalan SDM, di PP 59/2015 khusunya pembentukan peraturan perundang-undangan dalam konteks pemerintah sudah dikutisertakan yang namanya perancang masuk dalam beberapa tahap baik perencanaan, penyusuunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, pengundangan. Secara praktek di UU 12/2011 tidak melanjuti bagaimana caranya untuk mengharmonisasi terhadap aturan-aturan yang lebih tinggi khususnya peraturaan kelembagaan di Pasal 8 ayat (1) terkait harmonisasi yang lebih tinggi yang diatur dalam Permenkumham 23/2018.
Jimmy Z. Usfunan menjelaskan mengenai Peraturan Menteri memiliki level yang berbeda-beda mengenai administrasi. Di satu sisi, ada persoalan implementasi teori perjenjangan norma yang tidak bisa dihentikan saat ini misalnya menggunakan lex superior derogat legi inferiori maka bisa diselesaikan persoalan teoritisnya atau dogmatika dari aspek-aspei peraturan perundang-undangan yang bermasalah melalui juridicial review. Secara kapasitas dimunculkan Permenkumham No. 2 Tahun 2019 tentang Penyelesaian Disharmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Melalui Mediasi itu untuk mengkaji secara musyawarah dan mediasi misalnya tatkala ada peraturan menteri bertabrakan.
Di Pasal 181 UU Cipta Kerja memberikan ruang terkait eksekutif review dengan cara harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan yang lebih tinggi. Banyak peraturan perundang-undangan yang tidak menindaklanjuti putusan pengadilan dan banyak regulasi yang bertentangan dengan putusan pengadilan hingga tidak menimbulkan kepastian hukum dan saling bertabrakan satu sama lain serta tidak ada solusi, maka solusinya sudah ada di Pasal 181.
Dian Kus Pratiwi, S.H., M.H. menjelaskan bahwa NKRI itu sejalan dengan tuntutan demokrasi guna memenuhi rasa keadilan masyarakat di daerah, memperluas serta meningkatkan semangat dan kapasitas partisipasi daerah dalam kehidupan nasional serta untuk memperkuat NKRI. Kemudian DPD hadir sebagai lembaga yang mampu membantu untuk mengatasi kesenjangan antara pusat dan daerah sesuai semangat otonomi daerah yang menjamin keadilan, demokrasi dan jaminan keutuhan integritas wilayah NKRI.
Kewenangan yang dimiliki oleh DPD lebih lanjut diatur dalam Pasal 22D UUD 1945 dan maupun dalam UU 17/2014 (beserta perubahannya) sekaligus menjadi sebuah tantangan bagi DPD sebagai perwakilan setiap provinsi untuk menyuarakan kepentingan dan aspirasi daerah. Sedangkan DPD diberi kewenangan pengawasan dalam Pasal 22D tapi sangat limatitif yakni berhubungan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan & pemekaran serta penggabungan daerah, perimbangan keuangan pusat & daerah, RAPBN, pajak, pendidikan dan agama.
Dalam penyusunan prolegnas pada putusan MK No. 92/PUU-X/2012 memiliki kewenangan konstitusinal untuk ikut mengajukan RUU sebagaimana diatur didalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 maka sudah seharusnya DPD berwenang dalam penyusunan prolegnas. Kemudian pada UU MD3 Pasal 249 ayat (1) huruf i menyebutkan DPD menyusun prolegnas yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
UU 15/2019 Pasal 20 ayat (1) menyebutkan penyusunan prolegnas merupakan salah satu tata cara pembentukan peraturan perundang-undanganan yang dilakukan oleh Presiden, DPR dan DPD. Kewenangan pemantauan dan evaluasi raperda dan perda itu pada UU 2/2018 tentang Perubahan Kedua UU MD3, Pasal 249 ayat (1) huruf j, dan DPD mempunyai wewenang dan tugas melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancangan peraturan daerah (Raperda) dan peraturan daerah (Perda).
Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D. menjelaskan mengenai landasan pembentukan UU yang baik dan konfigurasi kelembagaan DPR. Landasan pembentuk UU yang baik yakni landasan filosofis, landasan sosiologis, landasan yuridis, dan teknik perancangan peraturan. Konfigurasi kelembagaan DPR itu antara lain pada pejabat (pimpinan & anggota DPR), infrastruktur politik (fraksi-partai politik), supporting organ & staff (baleg, staff ahli dan lainnya).
Tugas badan legislasi antara lain mengenai Prolegnas & RUU prioritas (5 & 1 tahun), koordinasi NA & RUU dari anggota komisi, persiapan & penyusunan RUU usulan Baleg, harmonisasi, pembulatan & pemantapan konsep RUU dari anggota & komisi sebelum disampaikan pada pimpinan serta pemantauan & peninjauan UU.
Prolegnas rutin berdasar UU 15/2019 sangat diperlukan dan penting dari badan legislasi karena proleges rutin akan memberikan feedback sejauh mana UU itu tercapai atau tidak. Supporting organ & staff (sistem pendukung) ada badan keahlian terdiri dari pusat perancang UU, kelompok pakar atau tim ahli, tenaga ahli yang dibantukan dengan alat kelengkapan, fraksi dan anggota. DPR mempunyai kapasitas yang sangat memadai untuk membentuk UU yang mempunyai kualitas sangat tinggi, namun dalam prakteknya, seringkali UU itu disebut sebagai produk politik.
Prof. Susi mengutip pendapat William J. Keefe-Marris S. Ogul. Ia mengatakan salah satu fungsi badan legislasi adalah pendidikan publik, dimana salah satu aspek pendidikan publik adalah menyampaikan informasi yang cukup dan akurat serta senantiasa memperhatikan pendapat publik dan kedua aspek sangat penting dalam proses pembentukan UU. Selain sebagai cara mendorong partisipasi publik juga agar UU yang dibentuk mencerminkan “general will: yang mencerminkan kedaulatan rakyat dan lebih menjamin UU yang berkualitas. “Peningkatan kelembagaan DPR harus beriorientasi pada kapasitas membentuk Undang-Undang yang baik.” (FHC/RS)